Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi yang dapat menindak korporasi karena diduga terlibat dalam kasus korupsi segera terbit. “Tunggu saja sebentar lagi akan ditandatangani,” kata Hakim Agung Surya Jaya di gedung KPKdi Jakarta, Kamis (8/9).
Namun Surya Jaya tidak menjelaskan mengenai waktu penandatanganan Perma tersebut. “Tunggu saja sebentar lagi, draft-nya sudah selesai,” tambah Surya singkat.
Panitia penyusun Perma tersebut adalah Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung.Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief menjadi ketua panitia tersebut.
Landasan hukum penggunaan korupsi korporasi sebenarnya sudah ada dalam Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ayat (1) pasal tersebut menjelaskan bahwa, dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Tetapi bentuk denda dari kejahatan korporasi hanyalah berupa denda (ayat 7). Namun KPK membutuhkan Perma itu untuk hukuman penjara dan denda, sekaligus menghukum korporasi itu dengan cara membayar denda.
Sampai sekarang, KPK belum pernah menjerat korporasi dalam kasus korupsi, meskipun direksi perseroan sudah banyak yang menjadi terpidana sehingga penindakan tidak optimal mengembalikan kerugian negara.
Sejauh ini hanya ada satu kasus korupsi korporasi yang berhasil dibawa ke persidangan, yaitu kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT Giri dihukum membayar Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan.
Pada era pimpinan jilid III, KPK juga pernah mewacanakan menyeret korporasi dalam kerangka korupsi korporasi. Menurut pimpinan KPK jilid III Bambang Widjojanto saat itu, masih ada sejumlah masalah untuk menerapkan pasal tersebut misalnya penerapan hukum acara dan memperhitungkan dampak terhadap karyawan perusahaan tersebut sehingga KPK harus bekerja sama dengan pejabat pengelolaan aset, bila terjadi pengambilalihan aset yang merupakan aset bersama maka nilai aset akan turun.
Menurut Bambang, KPK pernah menangani kasus semi-korporasi yaitu kasus tindak pidana korupsi Presiden Direktur PT Surya Dumai Grup Pung Kian Hua yang mengendalikan perusahaan-perusahaan kehutanan untuk dibangun kebun sawit. Pung Kian Hua divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan diminta untuk membayar uang pidana pengganti senilai Rp346 miliar.