Peraturan mengenai Paten memiliki wajah baru setelah diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten yang menggantikan UU lama. Ada beberapa poin penting aspek penegakan hukum yang diatur dalam UU Paten yang terbaru itu. Diantaranya mengenai mekanisme penghapusan paten.
Dalam UU Paten ini, penghapusan paten merupakan bagian dari aspek penegakan hukum. Pasal 137 UU Paten menyebutkan bahwa penghapusan paten menghilangkan segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hak lain yang berasal dari paten tersebut. Sedangkan, Pasal 141 menegaskan paten yang telah dihapus tidak dapat dihidupkan kembali, kecuali berdasarkan putusan Pengadilan Niaga.
Lantas, bagaimana mekanisme penghapusan paten bila mengacu UU tersebut?
Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia Cita Citrawinda mengatakan, ada lima mekanisme penghapusan paten yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2016 tersebut.
Pertama, pemegang paten dapat mengajukan permohonan secara tertulis ke Menteri terkait bila ingin seluruh klaim dihapus. Kedua, pihak ketiga dapat mengajukan gugatan penghapusan melalui Pengadilan Niaga. Alasannya bisa beragam, seperti tidak memiliki kebaruan, bukan merupakan cakupan invensi dan tidak termasuk invensi yang dapat diberi paten.
Ketiga, paten yang berasal dari Sumber Daya Genetik (SDG) atau bersumber dari pengetahuan tradisional, tetapi tidak menyebutkan asal muasalnya bisa juga dimohonkan untuk dihapuskan. “Pihak ketiga yang dapat membuktikan asal muasalnya dapat mengajukan gugatan penghapusan,” ujar Cita merujuk Pasal 26 UU Paten dalam Seminar Nasional Sosialisasi UU Paten di Jakarta, sebagaimana dilansir hukumonline.com
Keempat, pemegang paten/penerima lisensi dapat mengajukan permohonan penghapusan ke PN Niaga. “Misalnya, ada invensi yang sama tetapi diberikan kepada pemegang lain agar invensi yang sama tersebut dihapuskan,” sebut Cita lagi.
Kelima, penghapusan paten juga bisa diajukan oleh jaksa atau pihak lain yang mewakili kepentingan nasional kepada pemegang paten dan penerima lisensi yang diajukan melalui PN Niaga. Alasan jaksa bersifat limitatif, yakni pemberi lisensi-wajib ternyata tidak mampu mencegah pelaksanaan paten dalam bentuk dan cara yang merugikan masyarakat dalam waktu 2 tahun setelah lisensi-wajib diberikan.
“Terhadap pemegang paten, jaksa dapat mengajukan penghapusan paten apabila pemegang paten tidak membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia,” jelas Cita lagi.
Lebih lanjut, Cita menjelaskan, bila merujuk ke Pasal 20 UU Paten, pemegang paten berkewajiban membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia yang menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi, dan/atau penyerapan lapangan kerja. Apabila pemegang paten tidak memenuhi kewajiban ini, maka dapat diajukan permohonan penghapusan paten terhadap pemegang paten yang bersangkutan. (Baca Juga: Sempat Diintervensi Asing, UU Paten Tetap Disahkan)
Cita menjelaskan UU Paten teranyar ini juga memberi kewenangan kepada Komisi Banding yang lebih besar. Bila pada UU Paten yang lama Komisi Banding hanya bertugas memeriksa paten yang ditolak, dalam UU Paten yang baru Komisi Banding diberi kewenangan untuk melakukan penghapusan paten, apabila pemegang paten tidak memenuhi kewajiban pembayaran tahunan.
Lanjut Cita, Menkumham wajib memberitahukan kepada pemegang paten dalam jangka 30 hari sebelum paten tersebut dinyatakan hapus karena tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan.
Cita juga menambahkan bahwa penghapusan paten dapat berlaku untuk seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan penghapusan dimaksud telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila dimohonkan penghapusan sebagian klaim atau Pengadilan Niaga memutuskan untuk menghapus sebagian klaim, maka atas klaim tersebut disesuaikan dengan tidak memperluas ruang lingkupnya.
Lebih lanjut, Cita menjelaskan pemegang paten dapat menggugat ke Pengadilan Niaga jika paten diberikan kepada pihak lain selain dari pihak yang memperoleh paten. Pemegang paten/penerima lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga terhadap setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang merugikan hak pemegang paten.
“Gugatan ganti rugi tersebut hanya dapat diterima jika produk/proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan invensi yang telah diberi paten. Apabila ingin mengajukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran paten atau paten sederhana, maka para pihak harus terlebih dahulu menempuh jalur mediasi,” jelasnya merujuk Pasal 154 UU Paten.
Cita menambahkan pemegang paten yang merasa dirugikan haknya juga dapat mengajukan permohonan Penetapan Sementara ke Pengadilan Niaga dengan tujuan: untuk mencegah masuknya barang yang diduga melanggar paten dan/atau hak yang berkaitan dengan paten; untuk mengamankan dan mencegah barang bukti oleh pelanggar; dan/atau untuk menghentikan pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar. Terhadap permohonan Penetapan Sementara tersebut, Pengadilan Niaga dapat mengabulkan, menguatkan, membatalkan, atau menolak.
Sanksi Pidana
Selain penghapusan paten, aspek penegakan hukum dalam UU Paten ini tentu saja adalah larangan beserta sanksi pidananya. Cita mengingatkan bahwa berdasarkan UU ini, “Setiap orang tanpa persetujuan pemegang paten produk dilarang untuk membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, dan/atau menyediakan untuk dijual, disewakan, atau diserahkan produk yang diberi paten.”
Sedangkan, bagi pemegang paten proses, “Setiap orang dilarang untuk menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya.”
Selain itu, lanjut Cita, penegakan hukum mengenai ketentuan pidana yang tidak ada dalam UU Paten sebelumnya. Ketentuan pidana tersebut diatur dalam delik aduan, yakni dalam Pasal 161, Pasal 162, dan Pasal 164 UU Paten.
Cita menjelaskan bahwa UU ini mengatur ,“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap paten, dipidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Sedangkan pelanggaran untuk paten sederhana dikenakan setengah dari ancaman hukuman pelanggaran paten.
Lebih lanjut, Cita menuturkan aspek penegakan hukum dalam UU Paten ini juga mengatur delik aduan terhadap pembocor rahasia atas seluruh dokumen permohonan paten dari tanggal penerimaan sampai tanggal pengumuman patennya. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.
Penambahan pengaturan ketentuan pidana dalam UU Paten juga berlaku terhadap setiap orang yang mengakibatkan gangguan kesehatan dan/atau lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Sedangkan bagi setiap orang yang mengakibatkan kematian manusia, dipidana dengan pidana paling lama 10 tahun dan/atau Rp 3,5 miliar.