Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim yang kini masuk dalam Prolegnas 2015-2019 merupakan RUU yang terkait dengan kepentingan profesi hakim agar hakim memiliki kredibilitas personal dan sekaligus melindungi kepastian terhadap kedudukan hakim dalam menjalankan tugas, dan tanggung jawabnya. Adanya RUU jabatan hakim didasarkan pada Pasal 25 UUD 1945 yang menyebutkan “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”.
Selain itu, tidak lazim ada profesi penting seperti hakim namun tidak ada undang-undangnya, sedangkan profesi lain seperti advokat, dokter, dan sebagainya diatur oleh undang-undang. Akibat tidak diaturnya profesi hakim selama ini menimbulkan beberapa permasalahan dalam kekuasaan kehakiman, seperti rekrutmen hakim yang kurang transparan, konflik wewenang antar lembaga dalam melakukan rekrutmen hakim, dan kualitas para hakim dalam membuat putusan yang belum sepenuhnya mencerminkan kondisi perkembangan hukum dan keadilan di masyarakat.
Sehubungan dengan kualitas hakim, apabila kita lihat persepsi publik menunjukkan kualitas hakim berada di titik nadir. Keadaan ini dikaitkan dengan ditangkapnya delapan hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Oleh karenanya dalam jajak pendapat Kompas, Senin 6 Juni 2016, menunjukkan 75,7 persen responden menilai citra hakim buruk. Adapun citra hakim itu lebih buruk dibandingkan dengan citra panitera, kejaksaan, dan pengacara. Jajak pendapat juga menyimpulkan 8 dari 10 responden menilai reformasi peradilan belum berhasil dilaksanakan. Hal menarik lainnya adalah dibandingkan dengan negara tetangga, berdasarkan World Justice Project Rule of Law 2015, Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 102 negara dalam aspek ketiadaan korupsi. Indeks korupsi itu diukur dari kekuasaan eksekutif, yudikatif, polisi/militer, dan legislatif. Ketidakpercayaan publik terhadap peradilan semakin diperparah dengan adanya pandangan dari Garry Goodpaster yang dalam bukunya Law Reform in Developing and Transition States, 2007 menggambarkan “Sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya-sungguh, tidak bisa digunakan untuk dapat memberikan keputusan jujur-tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan korupsi”. Penilaian Goodpaster sangat mengentak, dan kalau Mahkamah Agung (MA) tidak merasa ternista dan terganggu oleh penilaian Goodspaster tersebut, tamatlah sudah hukum negeri ini. Masalahnya, bukan orang biasa yang meruntuhkan benteng hukum, melainkan penegak hukum. Mendung hitam serasa menutupi langit peradilan Indonesia, sebab hakim memiliki tugas mulia pembawa keadilan. Bayangkan hakim selalu digambarkan sebagai “wakil Tuhan”. Di ruang sidang dipanggil “Yang Mulia” meski tak sedikit “yang tercela”.
Beragam fakta sosial menunjukan para hakim yang menerima suap di ruang-ruang gelap dari mereka yang sedang berperkara di pengadilan mengonfirmasikan bahwa putusan hakim jadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, apakah diringankan vonisnya atau justru divonis bebas. Padahal, ditangan hakimlah proses hukum mengakhiri perjalananya untuk mencapai tujuan asasi hukum. Keadaan tersebut memperlihatkan keadaan hakim semakin mengalami krisis integritas. Bicara integritas, nilai-nilai utama yang hendak diimplementasikan adalah kejujuran dengan menempatkan kepentingan bangsa dan masyarakat di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Apapun iming-iming yang disodorkan tidak akan mempengaruhi keyakinan hakim dengan mengubah kebenaran menjadi keburukan. Makna penting integritas tak lain sebagai keteguhan sikap dan konsistensi seseorang memegang nilai-nilai luhur kejujuran dalam berperilaku. Dalam dunia etika, keberadaan integritas seseorang jadi penting dalam melaksanakan amanah yang dipercayakan. Lawan kata integritas adalah munafik atau hipokrit, yang selalu merusak tatanan kehidupan sosial dan bernegara.
Terhadap kondisi sistem kekuasaan kehakiman yang parah ini, maka perlu perubahan radikal dalam hal; perekrutan calon hakim, pembinaan, dan pengawasan internal maupun eksternal hakim. Berkaitan dengan pengawasan eksternal, Komisi Yudisial (KY) diserahi tugas untuk menjaga, serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat perilaku hakim. Akan tetapi, sayangnya, KY tidak diberikan kewenangan mengeksekusi temuannya. Dalam hal ini KY hanya mengajukan rekomendasi kepada MA untuk ditindaklanjuti. Keluhan KY selama ini, rekomendasi yang disampaikan kepada MA soal adanya temuan hakim nakal tidak mendapat sanksi sesuai dengan pelanggarannya. Memang rekomendasi itu hanya bersifat usulan dan tidak bersifat mengikat, sehingga MA mempunyai hak untuk menentukan apakah memberikan sanksi atau tidak. Disinyalir banyak rekomendasi dari KY yang tidak dilaksanakan oleh MA, karena dianggap yang dilakukan hakim itu bukan masuk ranah kode etik, tetapi teknis yuridis. Padahal, menurut KY hal itu merupakan pelanggaran kode etik yang harus diberi sanksi. Rekomendasi itu pun akhirnya mentah dan sang hakim lolos dari sanksi.
Setidaknya hal tersebut dapat dilihat sejak tahun 2015, KY menerima paling sedikit 440 laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim di seluruh Indonesia. Dari 440 laporan itu, 105 di antaranya direkomendasikan KY untuk diberikan sanksi dan 11 lainnya diberi peringatan. Namun, dalam pelaksanaannya hanya 12 dari total 116 rekomendasi itu yang dijalankan oleh MA. Hal ini tentu membuat keberadaan dan eksistensi KY menjadi sebuah ironi. Bandingkan dengan KY di beberapa negara yang kedudukannya sangat dihargai. Di negara-negara Uni Eropa, KY dibentuk untuk memberikan sumbangsih kualitas independensi peradilan, meningkatkan efisiensi administrasi, dan menajerial peradilan. Di Amerika Latin, KY juga dibentuk dengan maksud untuk menjaga independensi peradilan dari intervensi pemerintah dan parlemen, serta meningkatkan fungsi peradilan dengan menggunakan mekanisme pengawasan independen. Untuk itu, tidak salah jika KY berharap RUU Jabatan Hakim yang dewasa ini dibahas di DPR mengatur pula kewenangan eksekutorial KY terhadap hakim yang melakukan pelanggaran kode etik yang bersifat berat. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan KY tidak hanya dijadikan sebagai pelengkap struktur kelembagaan negara dengan fungsi yang begitu penting namun tanpa memiliki kewenangan yang berarti.
Oleh karena itu, dalam RUU Jabatan Hakim perlu diatur klausul berupa pasal dan ayat tentang tugas KY untuk mengeksekusi putusannya, dalam bentuk penjatuhan sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi terhadap hakim yang melanggar kode etik berat Penjatuhan sanksi tersebut diharapkan dapat menciptakan efek jera bagi hakim dan menjamin kepastian hukum secara lebih baik bagi para pencari keadilan. Dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan kewenangan eksekutorial KY ini, dalam RUU perlu juga diatur tugas dan wewenang KY untuk secara intensif melakukan kerjasama dengan lembaga negara lainnya seperti KPK dalam melakukan pemeriksaan dan penyelidikan korupsi yang dilakukan oleh hakim dalam semua tingkatan peradilan. Dengan demikian, sudah saatnya disadari bahwa jaminan independensi kekuasaan kehakiman bukan berarti tidak boleh ada pihak selain dari lembaga peradilan yang dapat mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan hakim. Melalui RUU Jabatan Hakim yang mengatur kewenangan eksekutorial KY, kiranya dapat membawa pesan bahwa kekuasaan kehakiman pada dasarnya bebas tetapi tidak mutlak sebebas-bebasnya.
Oleh: Josef M Monteiro
Dosen Fakultas Hukum Undana