Apakah sah mengajarkan Marxisme-Leninisme di Indonesia? sebagai WNI seharusnya menyadari bahwa ada UU yang berlaku melarang hal tersebut dan harus melihat pelarangan PKI itu dalam perspektif sejarah dan dalam konteksnya.
Kemajuan teknologi informasi akan sangat membantu untuk mencari dan membaca buku-buku Marxisme-Leninisme yang bukan hanya di Indonesia tetapi juga negara lain. Dalam hal ini, membaca tidak mungkin dilarang, hanya saja berpidato, orasi mengenai komunisme yang dialarang oleh UU.
Alasan kebebasan mimbar (freedom of expression) dan kebebasan berpendapat (freedom of opinion) untuk mendukung PKI tidak laku di Jerman. Meskipun ‘negeri panzer’ mengagung-agungkan kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, tetapi pemerintah Jerman akan memidana siapa saja yang menyebarkan Nazisme dan melarang buku ‘Mein Kampf’’.
Larangan partai Nazi, Mein Kampf, dan denial statement tentang holocaust itu ditetapkan dalam undang-undang dengan sanksi pidana.
Pertanyaannya mengapa? Hitler dengan partai Nazi yang sampai saat ini terlarang telah bersalah melakukan kejahatan kemanusiaan. Bayangkan puluhan juta manusia dibunuh dengan sadis. Di sini, kejahatan kemanusiaan itu mencapai puncak yang prima.
Di negeri kita juga larangan marxisme dan komunisme itu ditetapkan dalam undang-undang. Sebaliknya ketika orang Jerman berada di Indonesia memakai T shirt berlambangkan swastika, membaca Mein Kampf, atau berorasi mengatakan holocaust tidak terjadi, maka dia tidak ditangkap oleh polisi kita. Karena tidak ada UU kita yang melarangnya.
Pelarangan PKI dan atributnya itu ada konteksnya yakni sejarah kelam di masa lampau dengan raison d’etre, spirit dan kejahatan kemanusiaan.
Jadi, polisi Jerman atau Uni Eropa akan memidana Anda yang melakukan pelanggaran terhadap UU mereka dalam konteks Nazi, Hitler dan holocaust. Sama dengan di negeri kita: menyebarkan ajaran komunisme beserta atributnya (palu arit) adalah kejahatan, karena sejarah, konteks dan wisdom bangsa.
Melakukan kejahatan kemanusiaan yang mengerikan telah terjadi beberapa kali, termasuk Peristiwa Madiun dan G30S/PKI, merasa benar dan menang sendiri (fasisme) itulah yang membuat PKI dan komunisme terlarang. Sampai UU itu dicabut.
Ketika G30S/PKI pecah, saya sudah duduk di kelas 1 SMP. Masih terlalu hijau mengenal politik, tetapi saya sudah memiliki kesadaran dan pengetahuan mana yang benar dan mana yang salah. Saya melihat di Pematang Siantar betapa PKI dan partai pendukungnya ‘overacting’, agresif, telah membuat ‘black list’ tokoh-tokoh yang akan dihabisi, sampai akhirnya terjadi pembantaian itu. Ayah saya hanya seorang guru ketika itu, juga masuk dalam ‘black list’.
Rejim Pol Pot di Kamboja di tahun 1970-an membunuh jutaan orang, sebagai ‘cultural revolution campaign’ guna mewujudkan komunisme murni di sana. Sama dengan logika PKI yang memasukkan orang-orang biasa seperti guru ke dalam black list karena dianggap intelektual, berarti liberal. Dengan logika yang sama PKI telah mendaftarkan ‘tokoh-tokoh’ masyarakat, ulama yang dianggap lawan ideologis mereka. Bayangkan, jika PKI yang menang di peristiwa 1965 itu!
Kesalahan PKI memberontak di tahun 1948 dalam Peristiwa Madiun terjadi ketika Republik masih belia dan menghadapi sekutu yang ingin menolong Belanda kembali menjajah. Republik ditusuk dari belakang, karena PKI merasa ada momentumnya. Saya tentu tidak faham, karena belum lahir di tahun 1948. Maka, ide meminta maaf kepada PKI yang ‘telah memerkosa Republik dua kali’ boleh dianggap ‘lebai’.
Republik mungkin perlu membayar ‘ganti-rugi’ kepada warganegara yang terzolimi, dirugikan, atau memulihkan nama baik bagi yang tidak terlibat. Tetapi ide meminta maaf kepada organisasi yang telah menghianati NKRI dua kali unacceptable. “Jangan sampai tiga kali,” kata syair lagu yang terkenal itu. Siapa menebar angin dia menuai badai.
Saya tinggal 12 tahun di Eropa Timur, empat tahun di antaranya di Uni Soviet ketika zaman komunis, empat tahun di Bulgaria pada masa transisi setelah bubarnya Pakta Warsawa, dan empat tahun di Polandia ketika sebagian besar mantan komunis ini menjadi anggota NATO dan Uni Eropa.
Saya faham seperti apa klaim, wajah dan realita komunisme, dan mengapa rakyat-rakyat di Eropa Timur membenci komunisme itu.
Sebagai negara berdaulat kita bebas memilih sistem politik kita dengan segala perangkat perundang-undangannya. Kita juga menghormati negara-negara lain yang menganut sistem politik mereka, termasuk negara-negara komunis yang kini tidak seberapa jumlahnya itu.
Saya faham, Tan Malaka, Alimin, Muso sebagai tokoh PKI aliran Moskow sebagai otak dari Peristiwa Madiun. Saya tahu, Aidit cs. tokoh PKI beraliran Peking yang menjadi otak G30S/PKI. Saya faham ada rivalitas antara Uni Soviet dan China. Ketika komunisme Uni Soviet bubar maka yang tinggal adalah komunisme China yang masih taat. Keinginan menguasai Indonesia atau negara-negara lain adalah lexicon politik internasional. Ketika kita lemah maka negeri ini akan tergadai.
Maka ketika seorang jenderal mengajak berdebat Goenawan Mohamad dan TEMPO yang mengejeknya dengan mengatakan kejadian pemberangusan atribut-atribut ‘hantu belau’ PKI sebagai sesuatu ‘yang menggelikan’ maka dapatlah saya simpulkan mereka para pendukung palu arit itu naïf. Mereka tidak faham undang-undang dan konteks pelarangan PKI dan komunisme serta trauma yang dialami bangsa ini ketika akan melangkah ke depan dengan tegap dan yakin.
Secara pukul rata, para pembela PKI dan atributnya telah mencampurbaurkan pelarangan PKI dan komunisme yang diatur dalam Tap MPR dan UU No. 27/1999 dengan opini masyarakat yang tidak percaya dengan ‘hantu belau’ komunisme yang masih bergentayangan, sebagian besar meyakini bahwa sebagai paham politik komunisme sudah bangkrut dan kehilangan daya tarik, dan di pihak lain ada persoalan keadilan (justice) dan hak-hak asasi manusia bagi para keturunan PKI atau terbunuh karena memang tidak bersalah yang masih belum terpenuhi. Ini tidak boleh menjadi pembenaran untuk bangkitnya kembali PKI, dengan cara apapun!
UU 27/1999 yang telah dimasukkan ke dalam KUHP menetapkan sanksi hukuman penjara antara 12 s/d 20 bagi kegiatan berbau promosi PKI ini. KUHP menyebutkan sebagai kejahatan terhadap keamanan negara. Maka tindakan Polri sudah benar.
Sama seperti di Jerman yang ketat melarang Nazi dan atribut-atributnya, Anda tidak bisa mengajari negara dan rakyat Indonesia yang traumatik dengan kekejaman PKI dan gampang lengah untuk memaafkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh G30S/PKI berkali-kali.
Biarlah orang Jerman dan Uni Eropa membicarakan sejarah masa lampau mereka dengan ‘hantu belau Nazi’. Kita juga membicarakan sejarah masa lampau kita dengan segala kebajikan (wisdom) yang sah kita miliki.
Ditulis oleh Haz Pohan