Memahami globalisasi perekonomian sebagai suatu realitas hidup yang sudah pasti akan hadir, sebenarnya telah lama disuarakan oleh Prof. C.F.G Sunaryati Hartono(1). Ahli Hukum Perdata Internasional tersebut mengingatkan bahwa globalisasi perekonomian merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat lagi dipungkiri kehadirannya, sehingga yang paling tepat dilakukan bukanlah menghindarinya, melainkan mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin untuk dapat menarik semaksimum mungkin manfaat dari setiap peluang yang diciptakan globalisasi tersebut. Termasuk juga untuk menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang sangat berpotensi menggerus kemandirian suatu negara yang berdaulat.
Globalisasi perekonomian, seperti yang dijabarkan oleh Paul Hirst dan Grahame Thomson, telah meningkatkan interaksi yang berbasis nasional menjadi suatu kekuatan baru. Sistem ekonomi internasional menjadi otonom dan terlepas dari ikatan nasional. Pasar dan kegiatan produksi benar-benar menjadi bersifat global(2)dan lebih dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan swasta, yaitu pelaku-pelaku bisnis transnasional (transnational companies – TNCs).
Walaupun aktivitas perekonomian global lebih didominasi oleh kehadiran dan kekuatan swasta, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan negara-negara, baik dalam kapasitasnya sebagai suatu kesatuan berdaulat yang bersifat public (iure imperii) maupun sebagai suatu pribadi perdata (iure gestiones)(3), sangat penting. Bahkan, negara merupakan kunci dalam memberikan akses seluas-luasnya pada setiap aktivitas bisnis lintas negara (cross border business activities) sebagai unsur utama dari perwujudan globalisasi perekonomian. Keterlibatan negara tidak hanya akibat dari keanggotaannya pada organisasi internasional, seperti organisasi perdagangan dunia (World Trade Organisation/WTO), tetapi juga sebagai konsekuensi dari peran aktifnya dalam visi pengintegrasian kekuatan perekonomian kawasan (4). Misalnya, di kawasan Eropa dikenal European Union (EU), di Asia Pacific dikenal the Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), di Amerika Latin dikenal the North America Free Trade Area (NAFTA). Lalu, kawasan Asia Tenggara mengenal the Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang kini sedang bertransformasi menjadi the ASEAN Economic Community, dalam mewujudkan ASEAN single market and production base(5)yang ditargetkan mulai pada tanggal 31 Desember 2015 ini.
Kehadiran dan peran Indonesia dalam pusaran perekonomian global misalnya, telah nyata sejak diratifikasinya hasil kesepakatan Putaran Uruguay, GATT 1994 melalui UU No. 14 Tahun 1994. Konsekuensi ratifikasi ini, perkembangan hukum ekonomi Indonesia tidak bisa lagi dilepaskan dari kesepakatan internasional (collective commitments) yang dilahirkan oleh WTO sebagai salah satu lokomotif globalisasi perekonomian dunia tersebut.
Dalam konteks ASEAN, Indonesia tidak hanya merupakan salah satu pendiri ASEAN, tetapi sangat berperan dalam mewujudkan visi pentransformasian kawasan ASEAN menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia melalui pengintegrasian seluruh kekuatan pasar dan basis produksi dari 10 negara anggota ASEAN kedalam suatu wilayah ekonomi bersama yang disebut ASEAN Economic Community (“MEA”) (6)seperti yang telah disepakati dalam the ASEAN Vision 2020 (7)dan the ASEAN Charter yang tahapan-tahapan pencapaiannya telah dijabarkan dalam the Declaration on the ASEAN Economic Community Blue Print (The MEA Blue Print) (8), termasuk juga pendukung kuat terhadap ide percepatan realisasi dari MEA yang sebelumnya disepakati untuk diwujudkan pada tahun 2010, dipercepat menjadi tahun 2015.
Kedudukan Indonesia sebagai core member ASEAN (lebih dikenal dengan istilah ASEAN 5) serta peran aktif yang dilakukannya dalam mewujudkan MEA, membuat sangat sulit (atau bahkan hampir tidak mungkin lagi) bagi Indonesia untuk meminta penundaan-penundaan atau kemudahan-kemudahan terhadap konsekuensi-konsekuensi pelaksanaan integrasi perekonomian ASEAN(9), apalagi untuk mengambil sikap mundur dari komitmen MEA (10). Dan sikap dari Presiden Jokowi, dalam sambutannya pada pembukaan Musyawarah Nasional XV Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Bandung yang menegaskan bahwa Indonesia akan terus maju dalam pelaksanaan komitmen MEA pada akhir tahun 2015 (11), memberikan ketegasan bahwa tidak ada lagi alasan bagi Indonesia selain melihat MEA sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan masa depan kesejahteraan Indonesia.
MEA dan Free Movement of Legal Services
Free movement of Services merupakan salah satu dari 5 elemen utama dalam pencapaian visi pasar dan basis produksi tunggal ASEAN (ASEAN single market and production base) yang merupakan goal akhir dari visi ASEAN. Langkah dan target liberalisasi dari masing-masing elemen tersebut pada dasarnya telah disepakati dalam the MEA Blueprint. Meskipun target liberalisasi belum secara tegas menyebutkan langkah dan target liberalisasi pada pemberian jasa hukum atau internasionalisasi profesi advokat, tetapi salah satu langkah aksi sehubungan dengan free flows of services yang disepakati dalam the ASEAN Blueprint, yaitu “ to remove substantially all restrictions on trade in services for all other services sectors by 2015.” menggambarkan bahwa free movement of services akan semakin tidak dapat dihindarkan untuk meliputi free movement of legal services and advocates profession, karena setiap langkah menuju the ASEAN single market and production base sangat berhubungan dengan kepastian dari pelaksanaan collective commitments (soft laws) dari kesepuluh negara anggota ASEAN.
Meningkatnya arus modal dan investasi asing, khususnya diantara pelaku-pelaku bisnis negara anggota ASEAN (inter-ASEAN trade and investments), secara logis akan diikuti peningkatan kebutuhan jasa advokat atau konsultan hukum. Profesi ini penting dalam memberikan arah dan nasehat-nasehat hukum, termasuk pendampingan yang dibutuhkan oleh para pelaku bisnis internasional untuk dapat beraktivitas bisnis dengan benar dan terlindungi di Indonesia. Demikian pula sebaliknya, ketika pelaku bisnis Indonesia memutuskan untuk mengembangkan akvitivas investasi dan produksi, misalnya ke Thailand atau ke negara ASEAN lainnya. Pelaku bisnis Indonesia akan membutuhkan jasa dari advokat atau konsultan hukum yang memahami ketentuan-ketentuan hukum Thailand. Para advokat itu memberikan arah dan nasehat-nasehat hukum atau pendampingan agar pengusaha Indonesia dapat berbisnis dengan benar dan terlindungi di Thailand.
Meningkatnya kebutuhan atas jasa advokat dalam wilayah MEA(12)telah mendorong ketertarikan dari para advokat atau kantor-kantor hukum, paling tidak dari masing-masing negara anggota ASEAN, untuk berkompetisi merebut pasar pelayanan jasa hukum dalam pasar dan basis produksi ASEAN yang telah terintegrasi dalam MEA. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut tidak hanya membutuhkan kesiapan advokat Indonesia untuk berkompetisi dengan advokat asing dalam pasar pemberian jasa hukum di dalam wilayah Indonesia, tetapi juga kemampuan advokat Indonesia untuk berkompetisi dalam pasar pelayanan jasa hukum di wilayah ASEAN yang diyakini akan tumbuh sangat besar, walaupun penuh dengan kompetisi.
Dalam laporan yang dipublikasikan oleh Maastricht University, penelitian berjudul the Evaluation of the Legal Framework for the free Movement of Lawyers menggambarkan suatu kepastian terhadap peningkatan kebutuhan terhadap jasa pelayanan hukum atau profesi advokat sebagai konsekuensi dari pengintegrasian kekuatan perekonomian negara-negara, seperti antara lain dikutip di bawah ini:
“ In general, the needs for cross-border legal services have increased since the introduction of the lawyers’ directives due to e.g. globalization, integration of market, family migration, cross-border marriages, cross border trade and mobility, and the ease of cross-border provision of services at a distance by the use of ICT. Most individual citizents and small business prefer a lawyer that speaks their language.”
Penelitian tersebut juga menggambarkan bahwa aktivitas pengembangan bisnis tidak terlepas dari peranan dan advis hukum dari advokat di negaranya yang cenderung tetap akan memegang peranan dalam menangani aspek hukum pengembangan bisnisnya di negara lain, baik secara langsung maupun melalui kerjasama dengan advokat lokal negara tempat aktivitas bisnis dilaksanakan. Sejalan dengan itu, kebutuhan akan pemberian pelayanan jasa hukum secara transnasional akibat dari integrasi pasar dan basis produksi ASEAN akan mendorong realisasi kebutuhan akan free movement of legal services and lawyers profession dalam wilayah MEA.
Jika menilik UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), kehadiran advokat atau konsultan hukum asing (selanjutnya disebut advokat asing) di Indonesia pada dasarnya tidak dilarang. Pasal 23 UU Advokat hanya membatasi kewenangan advokat asing, yakni hanya dapat memberikan nasihat atau opini hukum yang berdasarkan hukum asing. Demikian pula dasar dari keberadaan advokat asing di Indonesia, hanya dibatasi pada kedudukannya sebagai karyawan atau tenaga ahli di dalam suatu kantor advokat Indonesia. Dengan pengertian lain, advokat asing tidak diperbolehkan beracara di sidang pengadilan di Indonesia atau memberikan nasihat dan atau opini hukum (legal services) berdasarkan hukum Indonesia, serta tidak diperbolehkan berpraktek secara langsung atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.
Walaupun pada dasarnya ketentuan untuk membatasi aktivitas pelayanan advokat asing di Indonesia, sangat baik dalam melindungi kepentingan dari advokat Indonesia dari ‘serbuan’ advokat asing, tetapi, pembatasan-pembatasan tersebut, ternyata semakin hari semakin sulit untuk dipertahankan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Pemberian jasa hukum terhadap pelaku usaha (investor asing) dapat dilakukan secara on project or on case basis, sehingga advokat asing dapat melakukan pekerjaan di Indonesia tanpa harus tinggal atau membuka cabang kantor hukumnya di Indonesia. Misalnya, advokat asing datang ke Indonesia pagi, kemudian sore atau keesokan harinya telah kembali lagi ke negaranya. Praktek seperti ini diduga telah lama terjadi tetapi akan sangat sulit diketahui, kecuali ada pihak yang secara sengaja melaporkan tindakan pemberian jasa hukum oleh advokat asing sebagai tindakan melanggar Pasal 23 UU Advokat.
- Perkembangan teknologi dan komunikasi telah mengakibatkan hampir tidak ada lagi jarak dan batas antar wilayah negara, sehingga pemberian jasa hukum oleh advokat asing dapat dilakukan melalui pengunaan alat telekomunikasi yang canggih, misalnya rapat secara online, telekonperensi atau dengan teknologi skype.
- Pengertian dari tidak dapat berpraktek secara langsung, dan tidak dapat membuka perwakilan di Indonesia bagi advokat atau lawyer asing, sangat kabur maknanya bila dihadapkan dengan fakta-fakta yang telah lama hadir di Indonesia, dimana kolaborasi dari advokat asing dengan kantor-kantor hukum Indonesia hanya seakan-akan “terlihat” merupakan hubungan pemberi kerja dengan pekerja atau tenaga ahli (employers dengan employees atau foreign legal expert) tetapi “tercium” sebagai hubungan partnership, apalagi dengan ketidakjelasan dari makna terminologi dari “in association with.”
Contoh-contoh tersebut pada dasarnya hanya memberikan kerugian bagi Indonesia, karena peristiwa semacam itu dapat mengakibatkan peletakan batas pertanggungjawaban profesi menjadi sangat tidak jelas. Aktivitas akvokat asing dengan menggunakan strategi yang disebutkan pada angka 1 dan angka 2 di atas, jelas akan lebih merugikan Indonesia. Sebab, selain advokat asing tersebut tidak membayar kewajiban pajak terhadap setiap penghasilan yang telah diperolehnya dari pemberian jasa hukum di Indonesia tersebut, kewajiban-kewajiban untuk melakukan sharing of knowledge, sharing of business cooperation dan kewajiban untuk melakukan pelayanan masyarakat sehubungan dengan access to justice secara cuma-cumaatau probono(13) menjadi hampir tidak mungkin dilakukan. Begitu pula dengan tidak tegasnya ukuran batasan kerjasama yang dimaksud Pasal 23 UU Advokat dalam praktek, cenderung mengakibatkan, secara formal, pertanggungjawaban profesi hanya dapat dibebankan kepada advokat Indonesia, karena dapat saja misalnya Legal Opinion tersebut secara formal ditandatangani oleh advokat Indonesia, padahal sebenarnya dibuat sang advokat asing.
Selain itu, perwujudan pasar tunggal ASEAN dengan semangat ‘one identity, one destiny’ akan mengakibatkan kata ‘asing’ akan mengalami pengaburan arti dalam wilayah MEA yang dalam Pasal 35 dan 36 The ASEAN Charter telah dibagun dalam identitas tunggal ASEAN, dengan motto: One Vision, One Identity, One Community . Pergerakan jasa hukum secara cross-border akan semakin tidak dapat dihindarkan sebagai bagian dari target free movement of service yang melekat erat dengan aktivitas investasi, produksi dan pemasaran di wilayah ASEAN sebagai konsekuensi dari collective agreements negara-negara anggota ASEAN. Kesepakatan-kesepakatan bersama (collective agreements) negara-negara anggota ASEAN merupakan perjanjian internasional yang akan mengikat setiap angota. Dengan pengertian lain, ASEAN collective agreements akan mengakibatkan negara-negara anggota yang menyetujuinya membuat kesepakatan internasional. Dari sisi hukum perdata internasional, ini menjadi bagian dari perkembangan hukum nasionalnya, dalam aktivitas bisnis internasional.
Jika melihat perkembangan the European Union (EU) yang telah meliberalisasi pergerakan advokat dan pemberian jasa hukum (reciprocal recognition and implementation of free movement of legal services and legal profession) di wilayah Uni Eropa melalui EU Directive 2005/36/EC, semakin jelas bahwa daya tahan keberlakuan Pasal 23 UU Advokat untuk tidak memberikan hak bagi advokat asing berpraktek secara langsung atau membuka perwakilan cabang kantor hukumnya di Indonesia, lambat atau cepat, sulit untuk tetap bertahan sebagai konsekuensi dari AEC. Pembicaraan-pembicaraan yang berhubungan dengan idefree movement of legal profession and legal services within the EAC, itu sendiri telah semakin intensif dilakukan, baik melalui aktivitas-aktivitas ASEAN, ASEAN Law Association, aktivitas Bar Association, seperti dalam international conference yang baru-baru ini diselenggarakan oleh the International Bar Association di Tokyo dan LawAsia di Sidney dan di Thailand, serta diskusi-diskusi internasional lainnya, termasuk juga yang secara aktif digagas oleh lembaga-lembaga keuangan internasional.
Dengan melihat dan menyadari fakta di atas, maka arah pembangunan visi advokat Indonesia haruslah lebih berani dan lebih nyata, yaitu melihat peluang pasar pemberian jasa hukum tidak lagi sebatas pada wilayah Indonesia saja, tetapi pada perluasan wilayah Indonesia, yang telah terintegrasi menjadi “integrated area of ASEAN.” Cara pandang ini akan membuat advokat Indonesia tidak lagi semata-mata hanya berkonsentrasi untuk menahan keberadaan Pasal 23 UU Advokat dengan melihat advokat asing sebagai ancaman. Lebih dari itu, advokat Indonesia seharusnya telah siap untuk berkompetisi dalam pasar pemberian jasa advokat di wilayah MEA ketika pemerintah harus menyesuaikan ketentuan undang-undang nasionalnya, termasuk UU Advokat Indonesia, sebagai konsekuensi dari collective agreements yang disepakati 9 negara anggota ASEAN lainnya.
Peluang advokat Indonesia untuk dapat berpraktek dan memberikan jasa hukum di masing-masing wilayah dari 9 negara anggota ASEAN (dan juga negara-negara mitra strategis non-ASEAN), sebenarnya akan menumbuhkembangkan wilayah pelayanan dan hubungan dari advokat Indonesia pada level global, termasuk jangkauannya pada pelaku-pelaku pasar, investor serta pemilik-pemilik modal global yang pada umumnya merupakan first source of clients, yang akan mendorong peningkatan income dari advokat Indonesia(14). Tentunya, hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, seperti, misalnya, bahasa Inggris yang menjadi syarat dasar dari pembangunan kemampuan dan kesiapan beraktivitas global tersebut, masih merupakan ‘barang mewah’ bagi kebanyakan advokat di Indonesia. Namun, keterbatasan tersebut bukanlah suatu beban yang tidak bisa tepinggirkan ketika seorang advokat Indonesia memahami secara baik, bahwa pergeseran arah pasar jasa hukum kewilayah yang semakin global dan liberal, akan memaksa advokat tersebut untuk membangun dirinya dengan sedini dan sebaik mungkin.
Peran PERADI
PERADI, sebagai organisasi profesi Advokat di Indonesia, selain harus berdiri pada garda terdepan dalam menjaga harkat dan martabat dari profesi advokat sebagai suatu profesi yang terhormat (officum nobile), harus pula berada pada garda terdepan dalam mempersiapkan sumber daya advokat Indonesia untuk mampu berkompetisi dalam era MEA. Realisasi pembangunan kualitas sumber daya advokat Indonesia secara paripurna tidak hanya ditentukan oleh peran universitas dimana advokat tersebut menimba ilmu hukum, tetapi juga oleh peran organisasi tempat advokat Indonesia bernaung.
Hal tersebut sebenarnya telah dimulai PERADI melalui suatu program rekrutmen calon-calon advokat Indonesia dengan komitmen zero KKN. Sikap mengutamakan mutu secara ‘tanpa pandang bulu’ memberikan suatu harapan akan lahirnya advokat Indonesia yang memiliki basis keilmuan dan pemahaman terhadap kode etik profesi advokat yang baik. Peningkatan sumber daya advokat Indonesia menuju pada standarisasi global telah pula dilakukan dengan membangun pola pendidikan lanjutan (continuing legal education) termasuk juga upaya melibatkan advokat asing yang telah menjadi bagian dari anggota PERADI – dan juga telah mengikuti pendidikan dan lulus dalam ujian kode etik advokat Indonesia – untuk berbagi ilmu dan pengalaman (transferring knowledge) dengan sebanyak mungkin advokat Indonesia sehubungan dengan peran hukum asing dalam aktivitas hukum internasional (komersial atau non-komersial), baik dalam wilayah kedaulatan Indonesia maupun sebagai konsekuensi dari one vision, one identity dan one community. Termasuk juga pengembangan pengetahuan terhadap tatacara pengelolaan kantor advokat (management of law firm) yang baik.
Upaya mengembangkan potensi dari kantor-kantor hukum Indonesia untuk melebarkan jangkauan dan peran pelayanan hukumnya pada wilayah MEA, juga harus menjadi fokus yang tidak bisa dianggap sepele. Langkah untuk memodernisasi kantor hukum Indonesia sudah mutlak harus dilakukan. Saat ini kantor hukum Indonesia terbangun dari formalisasi aktivitas praktek bersama atau dalam bentuk partnership firma (law firm). Wadah berusaha (pelayanan hukum) berbentuk partnership atau firma ini tidak melahirkan suatu badan hukum (legal entity) yang baru sehingga tetap merupakan bagian yang tidak terpisah, dalam hal kekayaan dan tanggung jawab, dengan masing-masing pendiri atau partner (firmant nya). Bentuk badan usaha pelayanan hukum seperti ini pada dasarnya sudah mulai ditinggalkan di luar negeri, seperti misalnya di Amerika atau Eropa, bahkan Singapura. Badan usaha pelayanan hukum telah dikonstruksikan dalam bentuk Limited Liability Partnership (LLP), legal entity dengan batasan pertanggungjawaban terhadap masing-masing dari partnernya.
Pada dasarnya realisasi pembangunan kualitas sumber daya advokat Indonesia sangat ditentukan pada dua wilayah penting; yaitu peran dari universitas dimana advokat tersebut menimba ilmu hukum, dan setelah itu, peran pembinaan dan pengembangan yang diberikan oleh PERADI, sebagai organisasi advokat Indonesia, dimana advokat Indonesia bernaung. Keberadaan dari dua institusi ini tidak dapat lagi dilihat secara terpisah, tetapi haruslah merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam menghasilkan mutu-mutu advokat Indonesia yang berkualitas ASEAN.
Realita pasar yang menjadi basis penting bagi PERADI untuk menerjemahkan dengan lebih akurat dan tepat apa yang dimaksud dengan profesi advokat sebagai profesi terhormat (officum nobile), haruslah menjadi masukan penting bagi perguruan tinggi di Indonesia, karena sebenarnya, profesi advokat bukanlah profesi yang dapat dilakukan oleh semua orang. Advokat adalah profesi yang hanya dapat dijalankan secara baik dan maksimal oleh mahasiswa-mahasiswa hukum (calon-calon advokat) yang cerdas, jujur dan berkepribadian santun. Oleh karena itu, peningkatan persyaratan, perbaikan-perbaikan jangkauan kurikulum pengajaran serta kualitas pengajar pada fakultas-fakultas hukum haruslah secara serius ditingkatkan.
Hubungan teknis antara universitas di Indonesia dengan PERADI, tidak baik, bila hanya timbul dari pengujian kualitas lulusan fakultas-fakultas hukum di Indonesia dalam proses penyaringan calon advokat. Menurut saya harus lebih dari itu. Harus terbangun kerjasama yang berkesinambungan, termasuk dalam program-program kekhususan yang lebih membangun kesiapan dari mahasiswa hukum untuk semakin memahami kesiapan-kesiapan apa saja yang harus dipenuhi untuk memenuhi persyaratan sebagai advokat yang berkualitas baik dan berkelakuan terhormat. Dengan pengertian lain, keberadaan dari kedua institusi ini tidak dapat lagi dilihat secara terpisah, tetapi haruslah merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam menghasilkan mutu-mutu advokat Indonesia yang, paling tidak, berkualitas ASEAN.
Bersatu membangun kualitas dan menjaga kehormatan advokat Indonesia adalah dasar dari berdirinya PERADI di Indonesia. Sudah selayaknya seluruh ego-ego kekuasaan dipinggirkan untuk membuka setiap ruang untuk dapat duduk bersama, bersatu membangun Advokat Indonesia yang kuat dan bermartabat. Karena dengan hal tersebutlah advokat Indonesia akan lebih kuat dalam berkompetisi dengan advokat asing di pasar Indonesia, dan juga di pasar ASEAN.
Penulis: Dr. Ricardo Simanjuntak, SH, LL.M,ANZIIF.CIP