Di tengah gebyar program sejuta rumah yang digiatkan pemerintah, mencuat lagi ihwal lama kepemilikan properti asing.
Akankah mengusik geliat PSR? Akankah PSR dengan skim pembiayaan bunga kredit FLPP 5% per tahun, bantuan uang muka Rp.4 juta, dan uang muka bunga KPR (mulai) 1% (sebut saja Pola 5-4-1) terhambat dengan dibuka keran kepemilikan properti asing?
Kepemilikan properti asing baru sebatas wacana media, belum ada beleid baru. Pun demikian, mesti dijernihkan kualifikasi properti. Ke-satu, properti sebagai tanah (land) yang menjadi tapak bagi bangunan gedung (building), apakah rumah tapak (landed house) ataupun rumah susun alias apartemen. Ke-dua, properti sebagai rumah atau bangunan gedung (housing, building) yang dibangun di atas tanah. Ketiga, properti sebagai prasarana, sarana dan utilitas atau infrastruktur yang berkaitan dan melekat dengan perumahan atau kawasan permukiman.
Jika properti dimaksudkan sebagai tanah, sudah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Merujuk UUPA, Hak Pakai dapat diberikan bagi orang asing penduduk Indonesia. Bukan Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), dan hak Guna usaha (HGU) yang tertutup bagi WNA. Menurut UUPA Pasal 42 UUPA, Hak Pakai dapat diberikan kepada 4 (empat) kelompok: warga negara Indonesia (WNI), orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak Pakai dibatasi hanya untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah. Jangka waktu berapa lama? Jangka waktu Hak Pakai tidak diterakan dalam UUPA. Berbeda dengan HGB dan HGU yang diterakan eksplisit. Hak Pakai hanya disebutkan: ‘jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu’ (vide Pasal 41 ayat 1 UUPA). Jadi, UUPA tidak melarang mengatur jangka waktu Hak Pakai dibawah Undang-undang. Setakat ini, jangka waktu Hak Pakai sudah diatur PP No.40 Tahun 1996, yakni 25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun (25+20). Lebih singkat dari HGB (30+20), dan HGU (25 atau maksimum 35+25). Namun, PP No.40Tahun 1996 memungkinkan pembaharuan Hak Pakai.
Wacara meminta tambahan jangka waktu Hak Pakai tergantung pada kebijakan hukum (legal policy) dan justifikasi Pemerintah. Bisa motif kebijakan ekstensif pajak atau kemanfataan lain.Andai menambah jangka waktu Hak Pakai, tidak adil (fairness) jika lebih panjang dari HGB atau HGU.
Bagaimana dengan gagasan Hak Pakai diberikan seumur hidup? Tidak konsisten dengan UUPA yang memberikan jangka waktu terbuka untuk Hak Pakai, dan jangka waktu tertutup (fixed) untuk HGB dan HGU. Selain itu, jangka waktu Hak Pakai seumur hidup berasumsi tidak dapat dialihkan (non transferable), kecuali sebab meninggal. Padahal, Hak Pakai dapat dialihkan (Pasal 54 PP No.40Tahun 1996) karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Namun peralihan Hak Pakai atas tanah Negara dilakukan dengan izin pejabat berwenang (Pasal 54 ayat 7). Bahkan merujuk Pasal 43 ayat 1 UUPA, Hak Pakai dapat dialihkan sepanjang mengenai tanah yang dikuasai negara, dengan izin pejabat berwenang.
Jadi, Hak Pakai bersifat transferable sehingga menarik minat orang asing penduduk Indonesia membeli properti di atas tanah Hak Pakai. Merujuk PP No.41 Tahun 1996, di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara, atau berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak tanah, orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian. Menindaklanjuti itu, diterbitkan Surat Edaran Menteri Agraria/Kepala BPN No. 110-2871, Perihal Pelaksanaan PP No.41 Tahun 1996, tanggal 8 Oktober 1996. Bukan ihwal yang baru sama sekali.
Tak hanya transferable, Hak Pakai juga dapat dijaminkan atau bankable. Pasal 53 PP No. 40Tahun 1996 menegaskan Hak Pakai dapai dibebankan Hak Tanggungan. Kelop dengan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Hak Pakai atas tanah negara yang wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan, adalah objek Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat 2). Dalam UU Rumah Susun, unit satuan rumah susun (sarusun) dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, sehingga orang asing penduduk Indonesia, dengan asas pemisahan horizontal kua normatif tidak ada halangan membeli unit sarusun yakni atas bangunan sarusun.
Dari uraian hukum di atas maka Hak Pakai bagi orang asing penduduk Indonesia, tidak ada halangan dalam UU PA, dan sudah ada aturan yang pasti dalam PP No. 40Tahun 1996 dan PP No. 41Tahun 1996.
Dari berbagai syarat dan pembatasan mengenai Hak Pakai atas tanah yang diberikan kepada orang asing penduduk Indonesia, maka kepemilikan propeti asing tidak menggangu PSR. Mengapa?
Pertama, menurut PP No. 40Tahun 1996, pemilikan properti asing hanya untuk orang asing berkedudukan di Indonesia. Hal ini berarti pemilik properti berdomisili di Indonesia yang memiliki ijin tinggal menetap, ijin tinggal sementara, atau ijin berkunjung ke Indonesia. Tidak bisa orang asing yang tidak berkedudukan atau tidak menetap di Indonesia.
Kedua, tidak boleh untuk tipe rumah atau satuan rumah susun tipe sederhana atau rumah sangat sederhana, karena hanya bagi MBR, adanya subsidi pemerintah, bahkan bebas PPN.
Ketiga, Hak Pakai orang asing penduduk Indonesia untuk rumah atau hunian dibatasi hanya memiliki 1 (satu) unit rumah atau hunian saja (Pasal 1 ayat 1 PP No. 41Tahun 1996).
Keempat, Hak Pakai atas tanah bagi orang asing penduduk Indonesia wajib dilakukan pendaftaran tanah termasuk peralihannya sehingga terkendali karena terdaftar dalam Buku Tanah dan tidak bisa dilakukan peralihan bawah tangan.
Kelima, adanya kewajiban melepaskan atau peralihan Hak Pakai apabila orang asing penduduk Indonesia pemegang Hak Pakai tidak lagi bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 6 PP No. 41 Tahun 1996).
Keenam, untuk bangunan rumah susun atau apartemen dengan strata title, hanya berhak atas bangunan saja, sesuai asas pemisahan horizontal yang memisahkan hak atas tanah dengan hak atas bangunan gedung yang melekat diatas tanah Hak Pakai atas tanah negara. Bangunan gedung dari rumah susun atau apartemen itu dalam UU Rumah Susun disebut satuan rumah susun (sarusun) wajib didaftarkan dan dapat diterbitkan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) sarusun. UU Rumah Susun membedakan antara SKBG sarusun dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) sarusun, berdasarkan hak atas tanah yang dijadikan tapak bangunan apartemen atau rumah susun. Jadi tidak terkait hak atas tanah namun hak atas bangunan gedung semata.
Ketujuh, UUPA sebagai ‘karya agung’ bangsa Indonesia secara psiko-politik dianggap ‘sakral’, dengan barisan pendukung yang loyal dan bahkan hari lahirnya UUPA dirayakan rutin secara nasional dan heroik.
Selain itu, letupan wacana kepemilikan properti asing tidak bebas begitu saja namun terkait dengan alasan praktis kemanfataan sebagaimana muncul dalam berbagai pernyataan pejabat pemerintah setingkat Menteri. Berkembang wacana adanya pembatasan harga properti yang dapat dibeli oleh orang asing penduduk Indonesia untuk properti dengan harga lebih dari Rp 10 Miliar, dengan tarif PPnBM yang lebih tinggi dari pembeli domestik, dibatasi zonasi tertentu misalnya kota-kota besar dan tujuan wisata.
Berbagai wacana dan rencana belied itu sama sekali tidak menyentuh norma UUPA, dan tidak dalam konteks hendak mengubah UUPA. Paling maksimal hanya berkenaan jangka waktu Hak Pakai, namun ketentuan jangka waktu Hak Pakai dibuka dan tidak diatur UUPA, akan tetapi dalam PP No. 40Tahun 1996. Sehingga, andai pun hendak ditambahkan jangka waktu Hak Pakai tentu harus dibangun justifikasi yang tidak vis a vis dengan spirit UUPA.
Sebab itu, properti asing justru patut jika dipatok dengan harga lebih mahal, karena harga properti yang dibeli oleh orang asing penduduk Indonesia harus berbeda dengan pembeli domestik. Lagi pula harga properti kelas mewah sekalipun, di area bisnis atau destinasi wisata, lebih murah di Indonesia dibanding negara tetangga Malaysia yang sudah lebih awal mengiatkan program “Malaysia My Second Home Program” atau negara kota Singapore yang justru lebih banyak dihuni warga asing dengan harga properti bisa 5 kali lipat dari harga properti sekelas di Indonesia.
* Penulis adalah advokat dan konsultan hukum properti.