Dulu, ada seorang temanku yang mengesankan ketika aku bertugas di New York. Ahmad, diplomat Syria yang bertubuh tambun dan ramah itu selalu mengantungi makanan kecil: permen, kacang-kacangan, atau buah kecil yang enak dan harum jika dikunyah yang berasal dari negerinya.
“Haz, haram..haram..,” kata Ahmad di kala coffee break, ketika kami deadlock dalam memusyawarahkan rumusan resolusi GNB (Gerakan Non-Blok) tentang disarmament, perlucutan senjata.
Aku lantas mengerti apa yang dimaksudkannya. Lalu, aku mengeluarkan rokok kretek Indonesia yang terkenal itu: G*dang G*aram. Karena memang benda haram yang bernama rokok itu yang dia maksudkan, di kala kita coffee break di Vienna Cafe sambil ngupi. Mencari ide, berfikir-ulang dan mencari rumusan yang acceptable bagi GNB.
Memimpin pertemuan GNB adalah salah satu tugasku di Perutusan Tetap RI untuk PBB di New York (1998-2002). Tugas yang tidak mudah, karena berbagai pandangan dan posisi dari lebih 100 negara anggota GNB yang berada di semua seantero dan pelosok bumi. Beberapa negara menjadi masalah pula. Bagaimana ‘menarik rambut tetapi tepung tidak berserak’, kata pepatah Melayu. Mungkin begitu kondisi negosiasi di kalangan GNB, Tetapi, in the end, kami selalu berhasil merumuskan beberapa persoalan.
Di GNB urusan disarmament ini ketuanya sudah sekitar 20 tahunan dijabat Indonesia. Mereka (anggota GNB) percaya kepada Indonesia yang memiliki posisi moderat tetapi pendukung keras upaya perlucutan senjata.
“Nih, Ahmad, this is what you meant, hah?”
Ahmad pun larut dengan aroma cengkeh benda ‘haram’ itu, sambil mengunyah-ngunyah sesuatu di mulutnya.
Garam dibaca ‘haram’ mungkin enteng di lidah orang Arab. Dan, memang rokok kini kian diharamkan. Hamipr tiada tempat bagi penggemarnya di Markas Besar PBB. Itu kualami ketika beberapa tahun yang lalu berkunjung kembali ke tempat yang mengesankan ini. Berbagai upaya menelurkan resolusi pelarangan merokok di PBB ini sudah lama digaungkan. Tampaknya, rumusan kompromi telah berhasil dicapai, karena itu di seluruh gedung PBB ini dilarang merokok.
Di zaman aku bertugas, kutengok dengan nikmat beberapa dubes menghisap cerutu dengan asap mengebul-ngebul, tidak ada yang berani menegur.
Mengapa aku teringat dengan Ahmad? Hari ini (1/2) aku membaca Kompas, kini Indonesia memutuskan mengimpor garam. Haruskah impor garam ini ‘diharamkan’?
Ya, negeri yang dikenal dunia memiliki pantai terpanjang di dunia bernama Indonesia ini kini mengimpor garam. Dengan pantai terpanjang dan dikelilingi lautan tidak masuk di akal Indonesia kehabisan garam.
Diberitakan Kompas, petani garampun menjerit karena harga produksi mereka (dengan kualitas rendah) terpaksa terjun bebas. Jika impor garam dari luar negeri yang bermutu baik telah masuk dengan harga murah tidak heranlah jika ratusan ribu pekerja industri garam kita –kebanyakan petani kecil– yang menghidupi jutaan mulut kini menggelepar, ibarat ikan dipaksa hidup di darat.
Antara ‘garam’ dan ‘haram’ begitu dekat dan berbaur dalam kebijakan yang merupakan pertarungan antara importir besar dengan rakyat kecil. Tanpa kejelasan memandang persoalan dan taruhannya bagi rakyat kecil jelaslah siapa pemenang.
Sejak negeri si Ahmad Syria tercabik-cabik oleh perang saudara aku tak pernah mendengar kabar lagi darinya. Entah di mana kini temanku diplomat Syria yang mengesankan itu. Tetapi aku tetap ingat: ” Haz, haram..haram,” serunya dengan senyum melebar, ramah.
Begitulah..
Haz Pohan