Para advokat bersatulah. Itu mungkin tesa yang sulit. Advokat membaca syair dan puisi, tak perlu kening mengernyit.
Keduanya bukan seteru. Advokat dan penyair mempunyai titik kesamaan: kekuatan kata yang menyimpan “senjata”. Kata-kata yang berkuasa. Kata-kata yang molek.
Mari menelisik syair-syair Amir Hamzah, dan mengandaikannya advokat. Amir Hamzah, pemuda bersantun tinggi yang disebut sastrawan HB. Jassin “berwajah dan berhati lembut” tak cuma pandai merangkai syair, namun tulen ihwal kadar nasionalisme.
Keleh-lah, setakat merantau ke Jawa (Solo dan Batavia), dia sentral sebagai tokoh pergerakan nasional yang turut membidani Sumpah Pemuda 1928.
Amir Hamzah bukan sembarang pemuda, bukan sekadar “bujang Melayu” dan “Anak Langkat musyafir lata”, walaupun ia dengan rendah hati menyebutnya sesederhana itu, namun Pangerang dari Seberang asal Tanjungpura, Langkat pernah pula menjabat Sekretaris Utama Perkumpulan Indonesia Muda yang membuatnya sibuk dalam gegap pergerakan kebangsaan.
Tak heran jika kemudian Pemerintah menabalkannya sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/Tahun 1975, tanggal 3 November 1975. Jauh sebelum proklamator Sukarno-Hatta dikukuhkan Pemerintah sebagai pahlawan baru-baru ini.
Amir Hamzah adalah Pahlawan Nasional. Penyair itu sangat nasionalis. Jangan ada yang meragukan itu. Dia yang disebut Anthony H. Johns “Pangeran Melayu, Penyair Indonesia” begitu dihormati di negeri ini.
Namanya pun dikukuhkan dalam berbagai situs penting. Sebut saja Masjid di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diresmikan Gubernur Ali Sadikin, 7 Januari 1977 (sayang, masjid itu sudah diruntuhkan, belum dibangun lagi).
Ada juga taman kota yang menabakan nama Amir Hamzah di Jakarta. Termasuk nama jalan dan stadion sepak bola, nama gedung pusat kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, nama universitas dan perguruan pendidikan.
Patut mengenangnya sebagai pahlawan, penyair dan (satu lagi) pengabdi hukum. Tak banyak yang tahu ihwal pertemalian Amir Hamzah dan hukum.
Didalam negeri maupun manca negara, publik lebih mengenalnya sebagai penyair. Amir bertemali dengan syair, dan bukan sembarangan penyair.
Dia sastrawan yang dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru, kuat ihtiar dalam berkarya sastra. Anthony H. Johns menyebutnya penyair yang paling berhasil (finest) yang muncul di dunia Melayu.
Selain berjasa pula mengenalkan bahasa Melayu sebagai lingua franca, bahasa pengantar dalam pergaulan pergerakan nasional, dan menyumbangkan kemajuan pesat bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan nasional.
Amir tak meragukan kemolekan bahasa Melayu. Saat menulis surat kepada Armijn Pane, Nopember 1932, tampak kecintaannya pada molek bahasa Melayu.
“Engkau kudengar telah menjadi Guru sekarang, apakah yang kau ajarkan? Bahasa Melayu tentu, baik-baik pane, jangan kau lipu-lipukan bahasa yang semolek itu”, tulis Amir Hamzah pada karibnya itu.
Syair-syair Amir Hamzah bergaya bahasa batin, dan karena itu sangat menyentuh batin, dengan keunggulan akan bahasa Melayu yang tinggi bermutu. Bahasa ibunya. Persis seperti kata ajaib ini, setiap yang dari hati, pasti menyentuh hati.
Sebagian orang menyebut karyanya “puisi gelap”, karena samar dan tak tertangkap makna dalam bait syairnya.
Saya pun teringat dan membandingkannya dengan penyair sufi Jalaluddin Rumi. Untuk memahami renungan mistis Rumi taklah mudah, karena menggunakan bahasa simbolis dan puitis.
Hanya satu jalan yang lebih mungkin menerobos sampai ke pintu gerbang perasaan Rumi, yaitu menerapkan metode mistiko-fenomenologis.
Merujuk Abrar Yusra yang menulis “Amir Hamzah – Biografi Seorang Penyair”, kaum kritikus sastra berpendapat puisi Amir Hamzah membuka diri dengan anasir non-Melayu.
Dia terikat pada bahasa Melayu, namun Amir Hamzah bebas menyerap kata bahasa Jawa, Kawi, atau Sansekerta. Keleh saja, dia pengguna kata non-Melayu: dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, rangkum rinangkum, dan lainnya.
Dalam perantauannya di pulau Jawa, Amir Hamzah menghasilkan banyak syair. Tak sia-sia Kubusu pergi jauh ke tanah Jawa, meninggalkan tanah airnya Sumatera Raya. “Tinggallah tuan, tinggallah bunda. Tanah airku Sumatera Raya. Anakda berangkat ke pulau Jawa. Memungut bunga suntingan kepala”.
Sejarah mencatat Amir Hamzah menghasilkan sekitar 160 karya berupa 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1 prosa terjemahan.
Kompilasi atas karya-karyanya terangkum dalam antologi “Buah Rindu”, dan “Nyanyi Sunyi”. Tercatat juga sajak-sajak terjemahan dari negara tetangga seperti Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lain dalam antologi “Setanggi Timur” dan terjemahan “Bhagawat Gita” yang dipetik dari Mahabarata berisi dialog antara Kresyna dan Arjuna.
Namun, sebuah sumber menyebutkan, tak satupun hasil karyanya yang ditulis dalam bahasa Belanda, kendati beliau fasih bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Beliau penyair nasionalis! Dalam tutup kata untuk “Buah Rindu”, tertoreh komitmen kepenyairannya yang ditujukan “Ke bawah paduka Indonesia Raya. Kebawah lebu Ibu-Ratu. Kebawah kaki Sendari-Dewi”.
Oleh: Muhammad Joni