Presiden Joko Widodo pernah melontarkan pernyataan Indonesia akan segera menurunkan tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) pasca pemerintah mengumumkan pelaksanaan pengampunan pajak. Pemerintah juga mewacanakan pembentukan wilayah suaka pajak untuk memfasilitasi investasi pasca tax amnesty.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, jauh sebelum kedua wacana ini mengemuka, reformasi pajak yang menyeluruh telah menjadi agenda penting yang cukup lama tertunda. Riuh rendah reformasi pajak berpotensi menjadi jargon dan mantra yang melenakan, dan bukan tak mungkin mengusung agenda yang sejatinya bertentangan dengan spirit reformasi pajak.
“Serangkaian program dan insentif yang digelontorkan menggerus potensi penerimaan pajak, yakni kenaikan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) yang fantastis, penurunan beberapa tarif pajak, perluasan cakupan tax holiday dan tax allowance, dan moratorium pemeriksaan,” kata Yustinus di Jakarta, Selasa (16/8).
Menyikapi beberapa wacana tersebut, Yustinus menilai reformasi pajak perlu diwaspadai. Jika tidak, bisa saja reformasi pajak tidak mungkin terjadi atau reformasi palsu. Untuk itu, Yustinus memberikan beberapa catatan penting yang harus diperhatikan pemerintah terkait reformasi pajak. Pertama, penurunan tarif pajak memang menjadi tren global, atau sering disebut tax competition. Yang mengkhawatirkan adalah race to the bottom, atau balapan menuju jurang tarif terendah.
Sebagai negara yang pendapatan negara bergantung pada penerimaan pajak, kompetisi menuju tarif terendah ini dinilai sangat merugikan Indonesia, karena yang dihadapi adalah negara yang tidak bergantung pada penerimaan pajak. “Kerjasama perpajakan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik meski menuntut upaya yang lebih keras dan sungguh-sungguh,” jelas Yustinus.
Kedua, penurunan tarif pajak secara moderat dapat menjadi insentif dan pemanis bagi investasi. Pilihan moderat ini demi mengantisipasi dampak negatif penurunan dalam sistem pajak yang belum kuat. Yakni risiko turunnya penerimaan pajak secara tajam dan menggerus sumber pendapatan dalam jangka pendek tanpa jaminan munculnya potensi pajak baru.
Ketiga, penurunan tarif harus diletakkan dalam kerangka reformasi pajak yang komprehensif dengan peta jalan yang jelas yakni revisi UU Perpajakan yang lebih mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan transparansi, transformasi kelembagaan, akses data perbankan, single ID Number, koordinasi penegak hukum, dan reformasi belanja APBN.
“Tanpa itu, dikhawatirkan penurunan tarif akan menjadi double incentives. Kenapa? Karena sistem pajak yang lemah adalah insentif bagi wajib pajak untuk praktik diperlukan sebagai necessary conditions bagi reformasi pajak yang baik,” paparnya.
Keempat, praktik transfer pricing. Meski didorong perbedaan tarif pajak antarnegara, tetapi terjadi karena ada insentif berupa lemahnya regulasi, rendahnya kompetensi, buruknya administrasi, dan penegakan buruknya administrasi, dan penegakan hukum yang belum kuat. Maka, sambil mengantisipasi efektivitas amnesti pajak, penurunan tarif harus moderat dan hati-hati. Sebagai contoh, dari 25% ke 22% untuk dua tahun pertama, dan jika efektif dapat dilanjutkan ke level minimal 20%. Insentif lain juga harus digarap secara bersamaan, seperti perbaikan tata kelola pemerintahan, perijinan, logistik, kepastian hukum, perbankan, dan harmonisasi aturan. Kita membutuhkan 3C yakni certainty, clarity, dan consistency.
Kelima, berdasarkan data yang dihimpun, Yustinus mengatakan beberapa negara yang melakukan penurunan tarif pun tidak bisa secara cepat menaikkan tax ratio . Artinya, ada beberapa prasyarat dan prakondisi yang diperlukan agar penurunan tarif ini efektif. Relasi langsung dan positif antara penurunan tarif, meningkatnya arus investasi, kenaikan output ekonomi, dan peningkatan penerimaan pajak, tidak serta merta terjadi. Hal ini menunjukkan adanya kompleksitas dan saling berkaitan dengan bidang dan fungsi lain yang harus dipikirkan dan di atas dalam satu tarikan nafas kebijakan.
Keenam, terhadap ide pembentukan teritori suaka pajak (offshore financial center/OFC), pemerintah juga diharapkan mencermati lebih dalam melakukan kajian yang mendalam, objektif, dan komprehensif. OFC merupakan gejala lumrah di beberapa negara untuk memfasilitasi kemudahan investasi dan bisnis, namun pembentukannya harus selaras dengan semangat transparansi perpajakan di tingkat global.
“OFC bukan untuk mengelak pajak dan memfasilitasi pencucian uang atau penggelapan, melainkan untuk mengakselerasi transformasi ekonomi melalui kepastian hukum dengan perlakuan khusus, kemudahan administrasi dan perijinan, dukungan sistem perbankan yang handal, infrastruktur yang baik, serta aparatur yang kompeten untuk melakukan pengawasan,” tutur Yustinus.
Ketujuh, tanpa persiapan yang baik dan kajian yang memadai, perubahan sistem dan kebijakan perpajakan yang radikal berpotensi meruntuhkan bangunan sistem perpajakan Indonesia. Peta jalan reformasi perpajakan harus dibuat lebih baik, termasuk didahului dengan perumusan prinsip-prinsip perpajakan yang adil dan berkepastian hukum, menjamin keseimbangan hak, dan redistribusi pendapatan yang baik. Pelaksanaan amnesti pajak harus dievaluasi terlebih dahulu demi menjamin kesinambungan penerimaan pajak di masa mendatang.
Kedelapan, ketergesaan yang dibalut kesan responsif terhadap permintaan pasar harus disikapi penuh kehati-hatian. Sangat mungkin gagasan reformasi pajak ditunggangi bahkan dibajak kepentingan-kepentingan yang sekadar ingin melanggengkan insentif yang merugikan negara. Pembentukan suaka pajak yang dipaksakan pun dapat dicurigai mengandung hidden agenda untuk menciptakan tempat persembunyian baru pasca pengungkapan data di amnesti pajak dan mengantisipasi pemberlakuan AEoI (Automatic Exchange of Information).
Kesembilan, Presiden Jokowi sebaiknya fokus kepada monitoring dan evaluasi pelaksanaan amnesti pajak, menyiapkan strategi pasca-amnesti pajak, dan menuntaskan revisi UU Perpajakan dan aturan terkait, perbaikan kualitas birokrasi perpajakan, dan pembenahan administrasi agar menjadi landasan bagi sistem perpajakan baru.
“Belum terlambat. Mari kembali pada jiwa Trisakti dan semangat Nawacita, pemerintahan Jokowi harus memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok tertentu dan jangka pendek. Perpajakan diyakini para pendiri bangsa sebagai sarana menuju kemandirian dan kemakmuran. Jangan sia-siakan momentum emas ini. Waspadai penumpang gelap dan para pembajak agenda reformasi pajak. Cegah terjadinya reformasi pajak palsu,” pungkasnya.