Permohonan Judicial Review yang diajukan oleh anggota DPR, Setya Novanto, sebagian dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pasal 5 ayat 1, ayat 2, dan Pasal 44 UU ITE. Dalam putusan yang dibacakan, Rabu (7/9), MK menyatakan bahwa Frasa Informasi elektronik atau dokumen elektronikbertentangan dengan UUD sepanjang tidak dimaknai, khususnya dilakukan dalam rangka penegakan hukum.
Menurut Hakim, penyadapan harus dalam rangka penegakan hukum dan dimintai oleh Kepolisian, Kejaksaan, institusi hukum lainnya sebagaimana yang terdapat dalam Undang- undang. “Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terkecuali dalam rangka penegakan hukum yang diminta oleh kepolisian, kejaksaan, dan institusi penegak hukum lainnya. Menolak permohonan untuk yang lainnya,” tutur Arief Hidayat, Ketua Majelis Mahkamah.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa penyadapan adalah kegiatan untuk merekam, membelokan, mengubah, dan menghambat transmisi elektronik yang tidak bersifat publik, baik melakukan kabel maupun nirkabel. Dalam konteks HAM semua penyadapan dilarang khususnya untuk menjamin hak privasi yang dijamin dalam Pasal 28 F UUD 1945.
Selain itu, hakim menimbang bahwa penyadapan harus diatur secara benar-benar agar tidak terjadi penyalahgunaan penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum. “Penyadapan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari unsur acara pidana. Tindakan penyadapan adalah upaya paksa yang dilaksanan berdasarkan undang-undang dan harus diatur acaranya formil untuk materil. Bahkan dalam penegarakan harus dibatasi agar tidak dilakukan kesewenang-wenangan. Dalam hukum check and balance adalah pengadilan atau pejabat yang diberi kewenangan,” tuturnya.
Penyadapan dalam melaksanakan penegakan hukum pun harus berdasar undang-undang proses penyadapannya. Apabila penyadapan yang tidak sesuai dengan prosedur, menurut undang-undang hal tersebut tidak dibenarkan.
Kemudian, terdapat dissenting opinion terhadap putusan tersebut. Dissenting tersebut berasal dari dua hakim yaitu hakim I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo. I Gede berpendapat bahwa Setya Novanto sebagai pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan. Pasalnya Setya Novanto merupakan anggota DPR, di mana merupakan suatu yang sangat janggal ketika kekuasaan dalam membentuk undang-undang berada di DPR kemudian dipermasalahkan oleh DPR, dalam hal ini anggota DPR yaitu Setya Novanto.
“Memang terdapat anggota minoritas dalam keputusan DPR. Namun etika politiknya yang sudah disetujui oleh anggta DPR walaupun tidak disetujui oleh minoritas anggota DPR dan sepatutnya tentu harus dipatuhi oleh seluruh. Judicial Review yang boleh dilakukan oleh anggota DPR bersifat sangat khusus yaitu mengenai menyangkut hak anggota DPR dalam menyatakan pendapat, apabila materi berhubungan dengan masa berakhir DPR, berkenanan dengan mekanisme pemilihan ketua anggota DPR Kabupaten /Kota. Sementara itu permohonan yang diajukan oleh permohontidak berkenaan dalam salah satunya, sehingga Saya berpendapat permohonan tidak dapat diterima,” ujar I Gede.
Sedangkan Hakim Suhartoyo berpandangan bahwa yang dipermasalahkan oleh pemohon dalam hal ini Setya Novanto bukanlah mengenai dokumen elektronik atau informasi elektronik yang terdapat dalam UU ITE, melainkan cara memperolehnya. Sehingga menurut Suhartoyo, Setya Novanto sebaiknya menempuh hukum melalui pidana bukan menguji undang-undang.
“Pasal 31 UU ITE sudah mengatur mengenai penyadapan yang dilakukan. Sehingga UU ITE sendiri sudah cukup jelas mengatur mengenai penyadapan. Yang dipermasalahkan oleh permohon bukan pasal 5 ayat 1, Ayat 2, dan Pasal 44 UU ITE tetapi cara memperoleh yang dipermasalahkan. Seharusnya yang ditempuh adalah hukum melalui pidana bukan menguji,” tutur Suhartoyo.
Untuk diketahui bahwa Setya Novanto, Mantan Ketua DPR Ri yang sekarang menjabat sebagai anggota DPR dan juga Ketua Umum Partai Golkar mengajukan Judicial Review atau Peninjauan Undang-undang yaitu Pasal 5 ayat 1, ayat 2, dan Pasal 44 UU ITE.
Pasal 5 (1)menyatakan, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Ayat (2) menyatakan,Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal 44 menyatakan, Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah, sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).