Jaksa Agung HM Prasetyo dinilai membuat polemik baru dengan menunda eksekusi 10 terpidana mati kasus narkoba. Diketahui, dari 14 terpidana mati jilid III, hanya empat terpidana yang dieksekusi beberapa hari lalu.
Ditundanya eksekusi 10 terpidana mati itu pun menimbulkan berbagai spekulasi di masyarakat. Terlebih ada desakan dari Presiden RI ketiga BJ Habibie dan PBB yang tidak sepakat dengan hukuman mati tersebut.
Menurut Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul, seharusnya 10 terpidana itu dieksekusi berbarengan dengan empat terpidana lainnya. Karena putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap alias inkrah telah dikantongi.
“Kalau alasan itu kok yang empat itu bisa (dieksekusi), jadi masyarakat pertanyaan besar itu benar, karena itu jangan bikin polemik baru, ini kan Jaksa Agung bikin polemik baru bos,” kata Ruhut Sitompul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/8/2016).
Lagipula lanjut dia, biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam mengeksekusi seorang terpidana mati sekitar Rp200 juta. Dia menyarankan, seharusnya Kejaksaan Agung tak perlu takut dengan desakan BJ Habibie maupun PBB.
“Kita kan negara yang berdaulat, kita mempunyai hukum sendiri dan hukuman mati hukum positif di Indonesia,” ungkap Ruhut.
Adapun keempat terpidana mati yang telah dieksekusi yakni Michael Titus Igweh (Nigeria), Freddy Budiman (WNI), Humphrey Ejike (Nigeria), Seck Osmane (Senegal). Mereka ditembak mati sekitar pukul 00.45 WIB di Lapangan Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.