Pembahasan mengenai Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus berlanjut. Pembahasan memasuki buku II RKUHP. Dalam rangka memperkuat dan meminta berbagai masukan, Panja meminta masukan dari pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Todung Mulya Lubis.
Ketua Panja Benny K Harman dalam rapat tersebut mengatakan, belum ada kesepakatan antara Panja dan pemerintah terkait pembahasan khusus pasal yang mengatur pidana mati. Menurutnya, pemerintah memiliki dua konsep dalam rancangan aturan di RKUHP. Pertama, pidana pokok. Kedua, pidana tambahan. Hukuman mati ternyata masuk dalam pidana khusus.
Sebagian kalangan yang termasuk pemerintah tetap menginginkan adanya hukuman mati, namun tidak masuk dalam pidana pokok. Sedangkan menurut Benny, pemerintah seolah malu-malu. Kemudian, bila memang hukuman mati tetap dipertahankan, maka perlu kejelasan jenis tindak pidana apa saja yang dapat dikenakan sanksi hukuman mati. Misalnya korupsi, genocide, terorisme atau mungkin narkotika.
Hal lainnya, dalam RKUHP memungkinkan adanya perubahan sanksi hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup atau mungkin 20 tahun mendekam di balik jeruji. Namun dalam praktiknya selama ini, proses diubahnya sanksi hukuman mati harus melalui kewengan presiden, yakni grasi. “Tapi mekanismenya memang tidak jelas,” ujarnya di Gedung DPR, Rabu (5/10).
Politisi Partai Demokrat itu menilai setidaknya terdapat dua opsi. Pertama, boleh tidaknya dibuka upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) dapat dilakukan kembali setelah masa waktu 10 tahun. Kedua, melalui grasi. Ketiga, kewenangan mengubah sanksi hukuman pidana mati menjadi seumur hidup diberikan kewenangannya kepada Kemenkumham. “Cuma masalahnya, remisi saja bisa diperdagangkan,” kata Benny.
Menanggapi sejumlah pertanyaan Benny, Todung Mulya Lubis memaparkan pandangannya. Menurutnya, posisi dirinya tetap pada meninolalk terhadap semua jenis tindak pidana dihukum mati. Namun, melihat perkembangan politik hukum yang berkembang, maka tidak memungkinkan abolisi diberikan terhadap sanksi hukuman mati.
“Saya apresiasi pemerintah dan DPR, sehingga pidana mati tidak bersifat absolut. Jadi ada formula dalam jangka waktu 10 tahun bisa ada perubahan hukuman mati menjadi seumur hidup atau penjara,” ujarnya.
Mekanisme perubahan hukuman mati menjadi seumur hidup perlu dilakukan secara transparan. Pilihan dengan melalui dibukanya PK kembali atau melalui grasi. Namun praktiknya, terpidana mati telah menunggu eksekusi mati dalam kurun waktu yang cukup panjang 10 hingga 15 tahun. Dengan begitu, terpidana sudah menjalani hukuman penjara. (Baca Juga: Ketahui 4 Cara Penyelenggaraan Program Pensiun Berbasis Syariah)
”Di Jepang ada yang menunggu 48 tahun, belakangan diketahui bukan dia pelaku pidana, untung saja belum dieksekusi,” ujarnya.
Pria yang berlatar belakang advokat itu berpandangan bila perubahan sanksi hukuman mati menjadi seumur hidup melalui upaya PK setelah 10 tahun kemudian bkala membutuhkan waktu panjang, bahkan menyiksa Todung mengusulkan agar perubahan sanksi hukuman pidana mati dilakukan dengan proses assessment. Namun, ia mengakui bila dirumuskan mekanismenya dalam RKUHP bakal sulit.
“Tapi dirumuskan dalam bentuk peraturan pemerintah atau aturan turunan lainnya,” katanya.
Namun begitu, Todung menegaskan hukuman mati tetap tidak bersifat absolut. Pasalnya masih terdapat ruang waktu selama 10 tahun ke depan setelah putusan incraht untuk kemudian melalui proses assessment. Harapannya dengan proses assessment, terpidana mati dapat diubah jenis hukumannya menjadi seumur hidup.
Sedangkan jenis tindak pidana yang layak dijatuhkan hukuman mati, Todung mengacu pada ketentuan PBB. Menurutnya, pidana mati dapat diberikan terhadap kejahatan serius. Yakni, kejahatan yang langsung mengakibatkan kematian. Meski RKUHP mengatus setidaknya terdapat beberapa jenis tindak pidana yang dapat dijatuhkan hukuman mati seperti korupsi, genocide, narkotika, teroris, Todung tetap pada pendiriannya.
“Seperti pembunuhan terencana dan sadis, ini namanya kejahatan serius. Di luar itu, tidak masuk. Kalausaya harus memilih, maka saya kembali ke kejahatan serius. Di luar itu tidak masuk kejahatan serius,” pungkasnya.