Mantan Hakim Konstitusi Harjono menilai jabatan hakim konstitusi dan jabatan hakim agung pada hakikatnya berbeda. Faktanya, jabatan hakim konstitusi dan hakim agung memiliki banyak perbedaan mulai persyaratan, proses seleksi, hingga karakteristik kewenangannya. Misalnya, saat proses pencalonan baik ketika menjadi calon hakim konstitusi maupun calon hakim agung memiliki perbedaan persyaratan dan masa jabatan.
Menurutnya, sesuai putusan MK, hal yang sama itu jangan dibeda-bedakan. Sebab, kalau ‘hal yang sama’ dibedakan akan menjadi diskriminasi. “Permohonan ini, saya tidak bisa menerima bahwa Hakim MK disamakan dengan Hakim Agung karena kenyataannya sangat banyak bedanya terutama dari sisi kewenangan,” ujar Harjono seperti yang dikutip hukumonline.com, Senin (19/9).
Dia mencontohkan dari sisi status kepegawaiannya saja hakim konstitusi dan hakim agung berbeda. Status kepegawaian seorang hakim hingga hakim agung terus melekat seiring dengan kenaikan pangkat kepegawaian negara. Sementara ketika seorang PNS (Dosen) diangkat menjadi hakim konstitusi, status kepegawaiannya berhenti. “Seperti Bu Maria dan I Gede Dewa Palguna,” ujarnya mencontohkan
“Kita tidak bisa memberi sesuatu hal yang sama padahal mereka beda atas dasar apapun. Kok mau dituntut dipersamakan? Jadi, tidak ada persoalan diskrminasi sesuai Pasal 28H UUD 1945,” tegas ahli yang sengaja dihadirkan pemerintah ini.
Ahli pemerintah lainnya, Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempertanyakan apakah benar norma yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, rumusan pasal yang diuji sama sekali tidak ada persoalan diskriminasi. Sebab, pengertian diskriminasi hal yang sama diperlakukan sama dan yang berbeda diperlakukan berbeda.
“Calon Hakim Agung dari hakim karier tidaklah sama dengan calon Hakim Agung dari masyarakat umum, atau akademisi, atau kaum profesional lain, dan pensiunan, sehingga oleh karenanya syarat-syarat untuk dapat dicalonkan sebagai Hakim Agung yang berbeda bagi kedua kelompok tersebut bukanlah merupakan diskriminasi yang dilarang, sehingga tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” katanya
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1-4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK. Aturan ini terkait syarat usia, pengalaman, ijazah minimal calon hakim agung, dan periodisasi masa jabatan hakim konstitusi serta pimpinan MA dan MK.
Menurutnya ada persoalan diskriminasi persyaratan CHA karier dan nonkarier. Jika dibandingkan syarat CHA nonkarier tidak sebanding karena CHA nonkarier cukup syarat berpendidikan doktor dan pengalaman bidang hukum 20 tahun. Dia berharap syarat CHA bisa mempermudah hakim karier dan memperketat syarat CHA nonkarier.
Misalnya, hakim agung nonkarier diperlukan jika dibutuhkan memiliki keahlian khusus, syarat usia dinaikkan dari 45 menjadi 55 tahun, berstatus guru besar/profesor dengan gelar doktor hukum, syarat pengalaman dinaikkan dari 20 tahun menjadi 25 tahun. Untuk hakim karier, ada persamaan syarat usia dan pengalaman 20 tahun menjadi hakim termasuk hakim tinggi. Selain itu, ada persamaan masa jabatan masa jabatan hakim konstitusi dan pimpinan MK dengan masa jabatan hakim agung dan pimpinan MA.