Intensitas hujan yang cukup tinggi terjadi di Jakarta dan sekitarnya memang kerap terjadi dipengujung tahun ini. Biasanya air hujan yang tumpah ke atap membuat percikannya mengenai ke rumah sebelah. Bagi anda yang mengalami hal ini mungkin kesal dan bingung bagaimana mengatasi persoalan ini, apalagi tetangga tidak mau bertanggungjawab akan hal itu. Padahal anda sudah membicarakan masalah ini baik-baik. Lantas apakah ada langkah hukum yang bisa anda lakukan?
Jika tetangga tak menanggapi seperti yang Anda sampaikan tentu Anda bisa menempuh langkah cara-cara lain, misalnya menyampaikan lewat forum rembug warga atau Ketua RT setempat. Jika tidak ditanggapi juga, dan Anda benar-benar merasa sangat dirugikan, langkah hukum dapat digunakan.
Misalnya karena tumpahan air hujan dari atap tetangga itu, pekarangan dan rumah banjir. Jika demikian halnya, Anda dapat memakai saluran hukum. Dilansir dari klinikhukumonline.com, Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata(“KUH Perdata”) memberikan hak kepada seseorang untuk mengajukan ganti rugi akibat perbuatan orang lain sepanjang syarat-syarat yang ditentukan terpenuhi.
Dalam praktik pengadilan di Indonesia, gangguan terhadap ketenteraman hidup dalam bertetangga juga bisa menjadi salah satu dasar untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
Pasal 652 KUH Perdata ini bisa jadikan rujukan: “Tiap-tiap pemilik pekarangan harus mengatur pemasangan atap rumahnya sedemikian rupa sehingga air hujan dari atap itu jatuh di pekarangannya atau di jalan umum. Jika yang terakhir ini tidak terlarang oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, tak boleh ia menjatuhkan itu di pekarangan tetangganya”.
Larangan bagi tetangga untuk mengalirkan air ke tempat yang bukan haknya dipertegas lagi dalam Pasal 653 KUH Perdata: “Tidak seorang pun diperbolehkan mengalirkan air atau kotoran melalui selokan-selokan di pekarangan tetangganya, kecuali ia mempunyai hak untuk itu”.
Peraturan perundang-undangan di daerah tertentu biasanya memuat syarat-syarat bangunan yang berkaitan dengan saluran air. Sekadar contoh adalah Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung. Pasal 83 Perda ini menegaskan sistem penyaluran air hujan merupakan salah satu satu syarat sistem sanitasi bangunan gedung. Pasal 87 menjelaskan keharusan lain pemilik bangunan. Selengkapnya bunyi Pasal tersebut:
- Sistem penyaluran air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf d, harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah, dan ketersediaan jaringan drainase lingkungan/kota;
- Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan;
- Air hujan harus diresapkan ke dalam tanah pekaranganmelalui ke sumur resapan dan/atau kolam resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kecuali untuk daerah tertentu;
- Apabila jaringan drainase kota belum tersedia ataupun sebab lain yang dapat diterima, maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh instansi yang berwenang;
- Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran;
- Perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem penyaluran air hujan pada bangunan gedung harus mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Perda DKI ini mengatur sanksi admiistratif kepada pemilik bangunan yang melanggar ketentuan sistem sanitasi bangunan. Untuk sampai pada sanksi itu tentu Anda harus melaporkannya ke instansi terkait. Yang pasti, secara teoritis, penegakan hukum menjadi bagian penting dalam upaya melindungi kepentingan bersama agar memperoleh keadilan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Dengan demikian, secara normatif, sebenarnya ada kewajiban bagi tetangga Anda untuk menyalurkan air hujan melalui saluran yang sah. Tetapi, sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik.