Yayasan Rumah Sakit Sumber Waras, tidak bersedia mengembalikan uang Rp 191 miliar yang dianggap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai kerugian negara dalam pembelian lahan RS Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta
Menurut kuasa hukum Rumah Sakit Sumber Waras Serfasius Sebaya Manek, selama ini dalam proses transaksi, kedua pihak telah melalui asas-asas hukum keperdataan. “Ini bukan soal bersedia atau tidak bersedia. Tapi saya tegaskan bahwa ikatan perdata yang dibuat antara Sumber Waras dan pemda DKI itu sah,” ucapnya
Serfasius menjelaskan, jika salah satu pihak, baik pemerintah DKI Jakarta maupun Sumber Waras, ada yang dianggap wanprestasi, tentu bisa saling menggugat. Serfasius menuturkan kerugian negara yang dimaksud BPK tidak ada lagi kaitannya dengan pembelian lahan tersebut. “Kami tidak ada urusan,” ujar Serfasius.
Serfasius mengatakan pihaknya tunduk kepada keterikatan yang sah dengan pemerintah DKI. Menurut dia, obyek yang ditransaksikan, yakni lahan RS Sumber Waras, sudah sesuai dengan kesepakatan yang kami capai. Artinya, ucap dia, keduanya sudah tunduk kepada asas-asas keterikatan.
Soal kerugian negara, ujar Serfasius, Sumber Waras tidak akan mengembalikannya karena merasa tidak menggunakan keuangan negara. Menurut dia, Sumber Waras adalah entitas subyek hukum swasta yang melakukan transaksi jual-beli obyek dengan pemerintah DKI yang mana kedua pihak mengikatkan diri pada suatu perjanjian.
“Sampai hari ini, tidak ada yang melakukan wanprestasi,” tutur Serfasius. Sampai sejauh ini, ucap dia, belum ada pembicaraan khusus dengan perwakilan pemerintah DKI terkait dengan keputusan BPK mengenai audit pembelian lahan RS Sumber Waras.
Bila salah satu pihak dianggap melakukan wanprestasi, Serfasius meminta proses tersebut melewati jalur pengadilan. “So far, tidak ada yang kami langkahi, baik pemda DKI maupun kami sendiri,” ujarnya. “Transaksinya sudah sah, tunai dan terang. Begitu.”
Senin lalu, KPK bertandang ke kantor BPK. Dalam pertemuan tersebut, BPK berpegang teguh bahwa dalam pembelian lahan Sumber Waras terjadi penyimpangan. Ketua BPK Harry Azhar menuturkan pemerintah DKI tetap harus menjalankan Pasal 23-E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam undang-undang itu disebutkan pemerintah harus tetap menindaklanjuti hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Jakarta 2014 yang diterbitkan BPK. Pemerintah Jakarta harus tetap mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 191,3 miliar dalam kurun 60 hari seusai audit.