Tanah kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sesuai dengan hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Menurut Pengamat Hukum Agraria dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Sri Setiyaji apabila dibaca dengan teliti hingga substansi terkait tugas dan kewenangannya, tidak ada satu pasal pun yang kontra normal atau antinomi atau bertabrakan dengan undang-undangnya sendiri.
“Artinya, bahwa UU Nomor 13 tahun 2012 memberikan sepenuhnya dalam bidang pertanahan, itu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,” kata Sri dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.
Namun, jika dilihat dalam undang-undang pertanahan dan asas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan salah satu asas yang dikuasai oleh negara menyatakan bahwa Tanah Pakualam dan Tanah Kesultanan bukan bagian dari tanah swatantra.
“Kalau negara memberikan sebagian kepada daerah swatantra, di sana ada persoalan, tetapi Yogyakarta tidak termasuk dalam daerah swatantra, sehingga hak yang dimiliki itu ada sebelum proklamasi,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Suyitno, mengemukakan tanah kesultanan sampai saat ini dinilai masih banyak yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Ia juga mengatakan sampai saat ini luas tanah yang dimiliki kesultanan masih belum diketahui dengan pasti, mengingat tanah tersebut banyak digunakan oleh masyarakat untuk kehidupan.
“Sekarangkan yang dibicarakan itu soal sejarah dan faktanya seperti apa. Sultan itu kan maksudnya menata untuk rakyat dan mewujudkan apa yang menjadi kesejahteraan masyarakat,” kata Suyitno.
Meskipun berbentuk negara kesatuan, konstitusi juga mengakui keberadaan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945). (Baca Juga: Wewenang Pembatalan Perda Milik Pemerintah Atau Lembaga Peradilan?)
Demikian juga, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang (Pasal 18B ayat (2) UUD 1945).
Salah satu provinsi yang diberikan hak keistimewaan adalah Yogyakarta. Keistimewaan tersebut tidak serta merta diperoleh tanpa alasan konstitusional dan historis. Sebelum Republik Indonesia berdiri, sudah memiliki pemerintahannya sendiri sebagaimana disebut dalam pasal 18 UU 1945 (Sebelum Perubahan) sebagai “Susunan Asli”.
Selanjutnya, kedudukan tersebut diperkuat dengan pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 5 September 1945 bahwa Negeri Yogyakarta bersifat kerajaan dan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan UU No. 3 tahun 1950 junto UU No.19 tahun 1950.
Yogyakarta kemudian ditetapkan sebagai Daerah Istimewa (DI) yang setara dengan daerah tingkat I (provinsi). Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, DIY mendapat kewenangan untuk mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya sendiri, salah satu di antaranya bidang keagrariaan atau pertanahan.