Ketidakjelasan definisi teroris serta keterlibatan militer dalam penanganan kasus terorisme membuat revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendapat sorotan dari sejumlah anggota Dewan.
Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris, mengatakan Dewan konsisten mengawal agar revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak menggeser mekanisme penanganan kasus terorisme di luar sistem peradilan pidana. Undang-Undang yang digunakan saat ini sudah baik dalam menangani masalah terorisme.
Saat ini, UU Terorisme dinilai memberi ruang yang cukup bagi TNI untuk terlibat melakukan penanganan. Keterlibatan TNI dalam memberantas terorisme tidak boleh keluar dari ketentuan yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Yang lebih penting penanganan kasus terorisme harus tunduk pada mekanisme sistem peradilan pidana
Charles menegaskan tugas pokok TNI menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Mengacu Pasal 7 ayat (2) UU TNI, tugas pokok itu dilakukan dengan dua cara yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Tugas pokok itu dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. (Baca Juga: Reformasi Hukum Sebaiknya Fokus Benahi Peradilan)
Sayangnya, UU TNI tidak menjelaskan secara rinci bagaimana operasi militer selain perang itu dilakukan. Charles mengusulkan agar diterbitkan peraturan yang menjabarkan lebih detail mengenai operasi selain perang.
Charles sepakat agar ketentuan itu diatur dalam UU Perbantuan Militer. Sayangnnya sampai saat ini RUU Perbantuan Militer tak pernah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Dia mengaku pernah mengusulkan kepada Komisi I DPR untuk mendorong RUU Perbantuan Militer, namun tidak direspon positif. Diharapkan masyarakat sipil bisa mendesak DPR dan Pemerintah untuk memasukan RUU Perbantuan Militer dalam prolegnas untuk segera dibahas dan disahkan.
Bagi Charles dengan adanya peraturan yang jelas tentang operasi militer selain perang, keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bisa diperkuat sebagaimana tugasnya sesuai UU TNI. Jika itu sudah diatur lewat UU Perbantuan,diyakini tidak ada polemik revisi UU Terorisme untuk mengatur keterlibatan TNI.UU Terorisme yang digunakan saat ini dinilai sudah baik dalam menangani pidana terorisme, dan merujuk pada sistem peradilan pidana
“Kalau sudah ada UU Perbantuan Militer, tentu saja tidak akan muncul polemik tentang keterlibatanTNI dalam revisi UU Terorisme karena diatur batas-batas keterlibatan TNI, ” kata Charles kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/10).
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan UU Perbantuan Militer diperlukan sebagai aturan main operasi militer selain perang. Menurutnya UU TNI dan TAP MPR sudah memerintahkan pemerintah dan DPR membuat UU Perbantuan Militer. Tapi sejak UU TNI diterbitkan tahun 2004, sampai saat ini belum ada UU Perbantuan Militer.
Al menjelaskan operasi militer selain perang bisa bergulir ketika aparat sipil tidak bisa menangani konflik yang ada sehingga mengancam kedaulatan. Misalnya, adakelompok teroris menguasai wilayah tertentu di Indonesia seperti ISIS di Syria. Mengingat hal itu mengancam kedaulatan negara, TNI bisa melakukan operasi militer selain perang untuk menumpas terorisme melalui keputusan politik negara
“Doktrin utama operasi militer selain perang yaitu sebagai pilihan terakhir ketika sipil tidak bisa mengatasi masalah yang dampaknya pada kedaulatan negara, ” kata Al.
Keputusan politik negara dalam melaksanakan operasi militer selain perang menurut Al dibutuhkan untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan oleh militer. Selain itu, operasi militer selain perang berpotensi negatif terhadap profesionalisme TNI sebagai penjaga pertahanan negara.
Soal keterlibatan TNI menangani terorisme, Al mengapresiasi operasi Tinombala di Poso. Tapi ia menyayangkan karena keterlibatan TNI untuk membantu Polri dalam operasi itu tidak dilakukan melalui keputusan politik negara secara tertulis. Ia melihat Presiden Joko Widodo hanya memberi perintah lisan kepada TNI untuk membantu Polri dalam operasi yang mengejar kelompok teroris pimpinan Santoso itu. “Setelah perintah itu secara lisan diungkapkan, mestinya ditindaklanjuti dengan keputusan tertulis (Keputusan Presiden),” tukasnya.