Perumusan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana dalam satu buku menggunakan sistem kodifikasi. Tujuannya menyederhanakan dan tersusun secara rapih dan harmonis. Memasukan semua tindak pidana dalam RKUHP dimungkinkan yang bersifat umum. Namun, ketika terdapat modus kejahatan baru di kemudian hari dan bersifat mendesak maka tetap diperlukan UU yang bersifat khusus di luar KUHP.
Demikian pandangan dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura Maluku, Reimon Supusepa dalam seminar RKUHP di Gedung DPR, Rabu (24/8). Sejumlah pasal mengatur pemidanaan tersebar diberbagai UU. Meski semua tindak pidana ditarik ke dalam RKUHP, tetap diperlukan adanya aturan yang bersifat khusus. Terlebih, dalam KUHP masih mengatur yang bersifat umum.
“Karena banyak modus operandi berkembang, selain korupsi juga terorisme maupun narkoba. Maka harus membuat kriteria yang bersifat khusus,” ujarnya.
Ketika terjadi kondisi darurat dan belum terdapat aturan yang mengatur modus kejahatan baru dalam RKUHP, maka disitulah terbuka ruang membuat aturan baru di luar KUHP sepanjang tidak bertentangan dengan Buku II KUHP. Dengan kata lain, sebagaimana diatur dalam Buku II masih bersifat umum.
“Apabila terjadi perkembangan modus dalam keadaan mendesak, buat UU tindak pidana khusus untuk menjembatani modus baru. Harus ada terobosan khusus, jadi UU khusus tetap harus ada,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Univesitas Islam Indonesia (UII), Prof. Muzakkir, berpandangan kebijakan kodifikasi total dalam pembaharuan hukum pidana nasional hanya terdapat dan dimuat dalam KUHP. Menjadi persoalan, bagaimana dengan keberadaan pidana khusus yang dimuat di luar KUHP.
Muzakkir mengatakan, keberadaan hukum pidana terdapat dua pendapat. Pertama, menghendaki adanya hukum pidana khusus dalam UU Khusus di luar KUHP. Alasannya, hukum pidana khusus mengatur ketentuan khusus yang berbeda dan menyimpangi dari ketentuan umum pidana. Bahkan memuat ketentuan hukum acara pidana yang juga menyimpangi dari norma hukum acara pidana umum.
Menurutnya, adanya hukum pidana khusus tidak pula bertentangan dengan asas-asas hukum dalam pembentukan hukum. Yakni, hukum yang khusus mengalahkan hukum umum (lex speciali derogat legi generali). ”Maka kebijakan kodifikasi total harus tetap memberi peluang diaturnya hukum pidana khusus dalam undang-undang di luar kodifikasi,” ujarnya.
Kedua, menyatakan kebijakan kodifikasi total berarti hukum pidana nasional hanya terdapat dalam satu tempat. Yakni kodifikasi dan tidak mentolelir adanya hukum pidana dalam UU di luar kodifikasi, termasuk kategori hukum pidana yang dimuat termasuk kategori hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus, kecuali hukum pidana administrasi.
Atas dasar itulah, Muzakkir berpandangan tak ada alalsan hukum yang kuat untuk menolak kebijakan kodifikasi total. Sebab masih diperlukan adanya hukum pidana khusus yang dimuat dalam UU di luar kodifikasi. Padahal praktiknya, rumusan tindak pidana khusus sebagian besar hanya mengambil alih rumusan hukum pidana. Bahkan disertai dengan pemberatan ancaman pidana. Ironisnya, jarang diganjar hukuman saksi pidana maksimum khusus.
”Bahkan rata-rata praktik penjatuhan pidana penjara dan denda masih berada di bawah setengah dari ancaman pidana maksimum khusus,” ujarnya.
Lebih jauh, anggota tim perumus RKUHP dari pemerintah ini mengatakan kekhususan hukum pidana tidak terletak pada pidana materilnya, melainkan hukum formil atau hukum acara pidananya. Hukum pidana formil terkait dengan kebijakan penegakan hukum pidana sepenuhnya menjadi wewenang eksekutif.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Harkristuti Harkrisnowo, berpandangan extraordinary crime memang terus berkembang. Namun sepanjang pengamatan Harkristuti, kejahatan korupsi dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak dijelaskan sebagai luar biasa. Namun memang hukum acara dalam penanganannya yang luar biasa.
Ia sependapat denga Reimon agar dibuat kriteria dengan adanya kodifikasi terbuka. Maka dari itulah suatu tindak pidana dapat diatur dalam UU tersendiri sepanjang terdapat cantolannya di KUHP. ”Harus ada kriteria apa tindak pidana yang diatur dalam UU tersendiri. Kemudian, sejauh mana ketentuan dalam KUHP mengikat UU yang ada,” pungkasnya.