Berdasarkan data Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, dari 14.963 pengacara di Indonesia baru 1.968 yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dari jumlah itu, 105 diantaranya telah menjadi peserta program pengampunan pajak (tax amnesty), sehingga masih ada 1.863 pengacara yang berpotensi menjadi peserta.
Menurut Ketua Komisi Pengawas Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Komwas PERADI) kepengurusan, Denny Kailimang, jumlah itu berbeda dengan data yang dimiliki Komwas PERADI Juniver. Pihaknya mencatat ada 40.200 advokat yang sudah diangkat dan disumpah di seluruh Indonesia.
Dia berpendapat penyebab dari masalah ini disebabkan adanya ketidakbenaran dari organisasi-organisasi advokat itu sendiri.
Dijelaskan Denny, Pasal 29 ayat (2), (3) dan (4) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: “(2) Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota. (3) Selain buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri. (4) Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri.”
“Inilah yang saya rasakan, organisasi-organisasi advokat ini tidak benar. Kalau Pasal 29 ayat (2), (3) dan (4) UU Advokat sudah tidak dilakukan dengan benar maka organisasinya tidak becus. Makanya ini perlu di verifikasi lagi kenapa hanya 1.968 yang punya NPWP,” ujarnya Selasa (25/10).
Kesalahan terjadi bukan hanya berasal dari organisasi, tapi juga dilakukan oleh advokat itu sendiri yang tidak menjalankan kewajibannya.
Meskipun ada advokat UKM yang penghasilannya pas-pasan seperti yang ada di daerah, tetap saja mereka harus ada NPWP karena telah menarik uang atau bekerja. Dia berharap dari jumlah advokat yang telah diangkat dan disumpah sesuai dengan data yang tercatat di Komwas PERADI, sebanyak 25 persen-nya bersedia membuat NPWP dan mengikuti program tax amnesty.
“Ya, targetnya minimal 25 persen di seluruh Indonesia. Masa dari 40.200 tidak tercapai 10.000 an orang yang mempunyai NPWP,” ungkap Denny.
Denny mengimbau advokat seluruh Indonesia wajib mengikuti program tax amnesty periode II dan III. Hal ini merujuk pada evaluasi amnesti pajak Periode I yang menyatakan bahwa salah satu profesi yang memiliki potensial untuk mengikuti program ini adalah advokat.
Dia juga mengingatkan bahwa Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati telah memerintahkan supaya jajaran Ditjen Pajak menyasar kalangan pekerja bebas melalui pendekatan terhadap asosiasi dari para profesional untuk berpartisipasi dalam program pengampunan pajak.
Oleh sebab itu, ini adalah kesempatan yang sangat tepat bagi advokat untuk mengikuti tax amnesty agar tidak terkena dampaknya di kemudian hari. Dia khawatir advokat yang tidak taat pada aturan perundang-undangan bisa kena sanksi sesuai dengan kode etik advokat, yakni dihukum dengan pemecatan. Hukuman lainnya yang berlaku dari UU Tax Amnesty.
“Kalau dia kabur bisa kena penalty dan kalau penyelewengan pajak kena pidana, kalau dari organisasi sanksi kode etik, bisa dipecat sebagai advokat,” tegasnya.
Sedangkan, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) Jamaslin James Purba, mengatakan pada dasarnya tax amnesty merupakan program yang disediakan oleh pemerintah untuk pihak yang tidak tertib melakukan pelaporan pajak.
“Soal tax amnesty bagi yang memiliki harta yang tidak dilaporkan. Walaupun jumlah advokat begitu banyak tidak semua advokat itu punya harta kaya. Misalnya, advokat yang banyak melakukan kegiatan probono sifatnya. Bagaimana mau melaporkan, orang tidak ada yang perlu dilaporkan,” terang James.
James berpendapat bahwa tidak semua advokat hidup kaya raya. Menurutnya, hanya segelintir saja yang bergaya bak artis dan memiliki penghasilan di luar dari perkerjaannya sebagai advokat. Malahan, kata James, ada advokat yang bahkan untuk mempertahankan kantornya saja butuh usaha lebih. Begitu juga advokat yang lebih sering melakukan pekerjaan probono, bagaimana bisa mengikuti tax amnesty