Kementerian Komunikasi dan informatika bersama Komisi I DPR telah menyepakati Revisi UU ITE masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2016, dengan target pembahasan selesai pada bulan September 2016. Kritik publik terhadap proses pembahasan Revisi UU ITE diantaranya adalah pembahasannya dilakukan secara tertutup dan substansi pembahasannya yang tidak komprehensif.
“Pembahasan Revisi UU ITE terkesan seperti tergesa-gesa. Seharusnya tidak hanya menjadi kejar target produk legislasi dari Komisi I DPR. Pembahasan juga seharusnya tidak sebatas pada draft yang diajukan pemerintah, karena hal ini tidak merubah substansi yang bermasalah dari UU ITE,” ujar Asep Komarudin dari LBH Pers dalam konferensi pers yang digelar Kamis (18/8), di Jakarta.Proses pembahasan Revisi UU ITE selama ini dilakukan secara tertutup. Masyarakat tidak bisa melakukan pemantauan. Sementara draft revisi yang diajukan pemerintah dan DIM yang dimiliki oleh parlemen, dinilai tidak memiliki perdebatan substantif. Koalisi Masyarakat Sipil mengkhawatirkan, tidak akan perubahan signifikan dalam Revisi UU ITE.
“Karena proses pembahasannya tertutup, hasilnya tidak bisa memenuhi ekspektasi publik. Padahal dengan keterlibatan publik dalam proses pembahasannya, justru akan memberikan perspektif publik yang lebih berwarna untuk memperbaiki kelemahan UU ITE yang sebelumnya,” kata Asep.
Pembahasan Revisi hanya berfokus pada pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai pencemaran nama baik. Pasal ini sejak awal dinilai sudah bermasalah, karena sangat lentur dan multitafsir, dan implikasi di lapangan adalah pasal ini telah disalahgunakan.
“Selama pasal karet pencemaran nama baik itu masih ada, selama itu pula potensi kriminalisasi terhadap warga pengguna internet akan terus terjadi. Faktanya, pasal ini banyak digunakan oleh pihak yang powerful untuk menjerat pihak yang powerless guna memfasilitasi lingkaran kekuasaan,” kata Direktur Eksekutif SatuDunia Firdaus Cahyadi.
Menurut data LBH Pers, yang disampaikan Asep Komarudin, sejak UU ITE disahkan pada tahun 2008, terdapat 186 kasus yang dilaporkan karena dianggap melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pada tahun 2016 saja, setidaknya ada 11 kasus per bulan. Pelapor yang menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, banyak berasal dari kalangan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif.
“Dari 15 kasus yang diputus di pengadilan, hanya 3 kasus yang firm mengikuti pasal pencemaran nama baik dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sedangkan 12 Kasus lainnya, hanya mengikuti tafsiran penyidik tentang apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik dalam UU ITE,” ujar Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform).
Koalisi Masyarakat Sipil telah secara tegas meminta pemerintah dan DPR menghilangkan secara keseluruhan pengaturan mengenai tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sedangkan dalam draft yang diusulkan pemerintah, perubahan yang dilakukan dalam Pasal 27 ayat (3) hanyalah pengurangan ancaman pidana pencemaran nama baik dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
ICJR mengkritik argumentasi Pemerintah, karena Pasal 27 ayat (3) tidak memiliki kepastian hukum dan diterapkan secara beragam, mulai dari proses penyidikan, dakwaan, prosedur penahanan, prosedur pencabutan laporan, dan mediasi. Penafsiran yang multitafsir terhadap Pasal 27 ayat (3) selama ini terlihat dari pertimbangan hakim dalam menguji unsur-unsur pidana, sehingga yang terjadi praktek pengadilan bersifat eksesif.
Selain itu, ICJR juga mengkritik Rancangan Perubahan UU ITE mengenai ketentuan penahanan, telah menghilangkan syarat melakukan penahanan mesti dengan izin dari pengadilan. Kalimat persyaratan penahanan yakni “harus meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam” telah dihilangan dalam draft Revisi Pasal 43 ayat (6) UU ITE.
Penghapusan ketentuan syarat penahanan berimbas pada upaya paksa penyidikan terhadap pelanggaran pasal yang ancamannya diatas 5 tahun seperti Pasal 27 ayat (1) yang mengatur kesusilaan, Pasal 27 ayat (2) yang mengatur perjudian, dan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (4) yang mengatur mengenai pemerasan dan pengancaman. Dengan hapusnya syarat penahanan dengan izin ketua pengadilan, terhadap pasal yang ancaman pidanya lebih dari 5 tahun maka hanya akan mengandalkan diskresi Penyidik.
“Seharusnya kalimat penetapan pengadilan tidak dihapus dalam usulan revisi pemerintah, karena rumusan UU ITE soal izin pengadilan sangat penting dalam rangka fair trial dan sudah sesuai dengan mekanisme KUHAP,” tegas Supriyadi dari ICJR.
Terkait sikap fraksi di DPR, berdasarkan DIM konsolidasi fraksi, hanya ada dua fraksi yakni Partai Gerindra dan PAN yang memberikan catatan khusus terkait pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE yang selama ini telah dijadikan sebagai alat kriminalisasi. Fraksi lain mendukung usulan pemerintah yang hanya akan mengurangi ancaman pidana pasal pencemaran nama baik.
Terhadap rancangan Revisi UU ITE terkait dengan upaya paksa penyidikan berupa penghilangan syarat penahanan, sikap fraksi di Komisi I DPR hampir semuanya setuju dengan usulan Pemerintah. Hanya fraksi PDI-P yang menyatakan bahwa syarat penahanan harus dengan izin ketua pengadilan, seperti ketentuan yang diatur sebelumnya dalam Pasal 43 ayat (6) UU ITE.
“Sebaiknya Revisi UU ITE tidak dibahas dalam Rapat Panja yang hanya melibatkan Komisi I, tetapi dibahas dalam Rapat Pansus yang melibatkan semua Komisi di DPR. Karena rancangan perubahannya banyak melibatkan substansi hukum, yang seharusnya juga melibatkan Komisi III. Namun juga ada baiknya jika Revisi UU ITE menunggu pembahasan Rancangan KUHAP yang targetnya selesai pada tahun depan. Karena supaya sinkron substansi dalam Revisi UU ITE dengan Revisi KUHAP. Yang sudah diatur dalam KUHAP, tidak perlu lagi diatur dalam Revisi UU ITE,” usul Supriyadi.