DPR telah menetapkan puluhan RUU yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2017, salah satunya RUU Pertanahan. Sepengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Komisi II DPR telah menyerahkan draft RUU Pertanahan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang)(ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada medio 2016.
Berkaitan dengan itu, Sekjen KPA, Dewi Kartika, mengusulkan agar RUU Pertanahan dibentuk sebagai operasional UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Ini selaras dengan keinginan Presiden Joko Widodo melakukan reforma agraria sebagiamana tertuang dalam Nawacita.
Cuma, setelah melihat draft RUU Pertanahan yang digagas DPR dan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disusun pemerintah, Dewi merasa masih ada sejumlah masalah mengganjal. Secara umum substansi RUU belum selaras dengan reforma agraria sebagaimana diamanatkan UUPA. “RUU Pertanahan harus menjadi operasional UU Pokok Agraria, bukan menggantikannya,” katanya, Kamis (05/1).
Walau RUU Pertanahan memuat aturan soal reforma agraria, pengadilan pertanahan dan pendaftaran tanah, tapi masih terlihat ego sektoral yakni RUU tersebut hanya mengurusi tanah non kehutanan yang selama ini jadi ranah Kementerian ATR. Padahal jumlah tanah yang ditangani Kementerian ATR/BPN hanya mencakup 30 persen tanah di Indonesia. Sisanya merupakan kawasan hutan yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dewi berpendapat RUU Pertanahan itu harusnya mengatur 100 persen tanah yang ada di Indonesia, jangan ada pembagian kewenangan lagi antara tanah yang jadi urusan Kementerian ATR/BPN atau KLHK. Dengan begitu diharapkan tidak terjadi saling lempar tanggungjawab dalam menyelesaikan masalah agraria.
Menurut Dewi, ada beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam RUU Pertanahan agar bisa menjadi operasional UU PA Tahun 1960. Misalnya, perlu memuat aturan soal pendaftaran tanah yang sifatnya bukan sekadar administratif, tapi mendata seluruh tanah yang sudah atau belum bersertifikat.
Pendaftaran itu tidak sekadar mencatat, melainkan memeriksa secara rinci apakah terjadi ketimpangan struktur di daerah tersebut. Ketimpangan itu harus diatasi dengan menggelar program reforma agraria. “Fungsinya agar penguasaan tanah di daerah tersebut seimbang,” ucap Dewi.
Selain itu pendaftaran tersebut harus menggunakan sistem administrasi tunggal, tidak lagi memisahkan mana tanah yang masuk kawasan hutan atau bukan. Setelah proses pendaftaran tanah itu selesai, RUU Pertanahan perlu mengatur bagaimana menjalankan reforma agraria guna memperbaiki ketimpangan yang ada dan menyelesaikan konflik agraria.
Subjek dan objek yang disasar reforma agraria harus diatur secara jelas dan rinci guna menghindari multitafsir. Misalnya, masyarakat yang berhak menerima tanah dari program reforma agraria yakni petani yang tidak punya tanah atau petani gurem. Begitu juga dengan tanah yang menjadi objek misalnya tanah sengketa, eks HGU dan tanah terlantar.
(Baca Juga: Perma Korporasi Jadi Standar untuk Pengadilan Tipikor)
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ahmad Alamsyah Saragih, mengatakan hasil kajian Ombudsman terhadap sektor pertanahan merekomendasikan pemerintah untuk membatasi penguasaan korporasi terhadap HGU atau HGB. Selama ini pembatasan itu tidak ada sehingga korporasi bisa menguasai seluruh area konsesi. Ombudsman juga menemukan ada indikasi legalisasi terhadap HGU yang melanggar kawasan hutan.
Ombudsman menelusuri adanya 3.386 izin usaha perkebunan (IUB) yang diterbitkan tidak sesuai prosedur. Menurut Alamsyah, hal tersebut membuktikan terjadinya praktik rente dalam pilkada. Pasalnya, berbagai izin itu paling banyak keluar pasca Pilkada. “Ombudsman merekomendasikan agar 3.386 IUB yang cacat hukum itu dibatalkan,” tukasnya.