Revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik yang telah disetujui DPR dan Pemerintah menjadi UU tinggal menunggu proses tanda tangan dan pengundangan di Lembaran Negara.
Salah satunya perubahan penting dan masuknya klausula baru dalam UU ITE adalah penguatan kewenangan Pemerintah melakukan blokir terhadap konten internet yang dianggap bermuatan negatif.
Pasal 40 ayat (2a) RUU menyebutkan Pemerintah berkewajiban melakukan pencegahan terhadap penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik serta dokumen elektronik memiliki muatan negatif yang dilarang peraturan perundang-undangan.
Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Arifiyadi berpandangan sebenarnya Pasal 40 UU No. 11 Tahun 2008 sudah memberikan kewenangan kepada Pemerintah melindungi warganya dari gangguan yang terjadi di dunia cyber. Hasil revisi Pasal 40 itu semakin mempertegas secara detil kewenangan Pemerintah melakukan pemblokiran.
Pasal 40 ayat (2b) RUU menyebutkan, “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”.
Penjelasan kewenangan melakukan pencegahan tertuang dalam Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif.Nah dalam UU ITE hasil revisi nantinya bakal terbit aturan turunan sebagai pelaksana. “Peraturan Pemerintah itu yang nantinya akan mengatur lebih detil bagaimana pemerintah melincungi warga negara dari konten di internet,” ujarnya
Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya Hak Asasi Manusia Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)Wahyudi Djafar berpandangan Pasal 40 UU ITE hasil revisi menyisipkan kewenangan baru Pemerintah melakukan pemutusan akses terhadap muatan konten yang dilarang. Termasuk, memberikan perintah kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses.
Wahyudi menilai rumusan Pasal 40 ayat (2b) RUU memberikan ‘legitimasi’ terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 19 Tahun 2014. Menurutnya pemberian wewenang mutlak pemerintah dalam melakukan pemblokiran akses dari aspek politik dinilai berbahaya. “Mengingat besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),”ungkapnya.
Ia menilai rumusan Pasal 40 RUU yang sudah disetujui jadi UU masih jauh dari standar hak asasi manusia terkait pemblokiran konten internet. Seharusnya jelas batasan konten atau muatan internet yang dapat dibatasi, bagaimana prosedur pembatasannya, dan bagaimana mekanisme pemulihannya.
Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju memberikan contoh pemblokiran 11 situs jelang aksi 4 November lalu. Pemblokiran akses internet itu dilakukan melalui surat yang dilayangkan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo kepada sejumlah penyelenggara sistem elektronik. Revisi UU ITE semakin melembagakan dan menguatkan mekanisme blokir yang selama ini secara salah dilakukan oleh pemerintah.
Menurut Anggara, pemblokiran memang harus diatur dalam Undang-Undang. Namun perlu juga diatur kriteria konten negatif, serta mekanisme pemblokiran. Seharusnya blokir dilakukan lembaga independen yang memang bertugas melakukan pengawasan dan pemblokiran.