Nama Hakim Konstitusi Patrialis Akbar (PA) yang kini menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK) memunculkan wacana revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie menilai sistem rekrutmen hakim konstitusi perlu perbaikan. Hal ini terkait kasus dugaan suap yang menjerat PA.
Untuk mendiskusikan perbaikan sistem rekrutmen hakim konstitusi selanjutnya, Menurut Jimly, perlu ada pertemuan antara presiden, Ketua MK, Ketua Mahkamah Agung, dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Perbaikan itu tak hanya soal prosedur rekrutmen, tapi juga persyaratan sebagai hakim konstitusi.
Usai pertemuan dengan pimpinan MK dan sejumlah mantan hakim konstitusi di gedung MK, Jakarta, Rabu (1/2), Jimly mengatakan, “Ini jadi cara untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang terjadi di MK selama ini,”
Selain itu, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini juga menilai pentingnya perbaikan mekanisme rekrutmen yang selama ini dijatah tiga orang dari presiden, tiga orang dari MA, dan tiga orang dari DPR. Ia menuturkan, ketentuan tersebut dapat diperbaiki melalui peraturan masing-masing lembaga.
Lanjutnya menambahkan, “Sampai sekarang baru ada tata tertib DPR soal rekrutmen hakim konstitusi. Belum ada peraturan presiden dan peraturan MA. Substansinya bagaimana, itu yang sebaiknya didiskusikan bersama,
Terkait kasus yang menjerat PA, Jimly menegaskan kejadian itu merupakan masalah pribadi. Menurutnya, kasus ini sama dengan kasus suap yang menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar. Modus yang dilakukan pun serupa, yakni dengan membocorkan rahasia putusan uji materi. “Sama seperti peristiwa Akil, tidak ada kaitannya dengan institusi MK,” ujar Jimly.
Dirinya dan sebagian besar mantan hakim konstitusi lainnya merasa sedih dan kecewa saat mengetahui kasus yang menimpa Patrialis. Katanya, sembilan orang hakim konstitusi ini mestinya bersifat independen satu sama lain.
Hal ini tercermin pada sembilan tiang yang berdiri tegak di gedung MK. Menurutnya, sembilan tiang itu sebenarnya tak lazim lantaran mestinya tiang itu berjumlah genap. Namun akhirnya tiang itu sengaja dibangun dengan jumlah sembilan untuk menyesuaikan jumlah hakim konstitusi.
“Tiang-tiang itu independen. Maka kalau ada jalan pikiran satu hakim, itu tidak mencerminkan jalan pikiran delapan hakim lainnya,” katanya.
Dalam pertemuan itu juga hadir sejumlah eks hakim MK lainnya yakni Maruarar Siahaan, Achmad Roestandi, Abdul Mukthie Fajar, M Laica Marzuki, dan Ahmad Syarifuddin Natabaya.