Revisi Peraturan Pemerintah (PP) 52/53 Tahun 2000 dinilai sebagai aturan yang membuat industri telekomunikasi di Indonesia semakin liberal. Padahal, UU Telekomunikasi tahun 1999, telah membuat industri yang padat modal dan teknologi ini menjadi liberal.
Ahmad Hanafi Rais Wakil Ketua Komisi I DPR RI mengatakan bahwa munculnya wacana penurunan biaya interkoneksi–revisi PP yang mengatur berbagi jaringan–hanya untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan BUMN telekomunikasi asing yang beroperasi di Indonesia.
Ini dibuktikan dalam revisi PP 52, di mana operator telekomunikasi asing dimungkinkan untuk ‘menumpang’ jaringan pada operator yang sudah ada. Operator yang sudah ada diwajibkan memberikan akses kepada operator telekomunikasi asing tersebut.
Tentu saja, draft revisi PP 52/53 ini bertentangan dengan pernyataan Menkominfo Rudiantara pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi 1. Dalam RDP tersebut, Rudiantara memastikan ‘numpang’ pada jaringan operator lain itu tidak wajib.
Namun kenyataannya, beradasarkan draft revisi PP yang diterima Hanafi, tidak demikian. Menurut Hanafi, dalam revisi PP 53 juga diatur mekanisme pengambilalihan frekuensi.
Dalam Revisi PP 53 disebutkan pengambilalihan frekuensi atas persetujuan menteri. Jika ini dibiarkan, Hanafi menilai pemerintah melakukan hal yang inkonstitusional.
“Jika Menkominfo memaksakan penurunan biaya interkoneksi dan revisi PP 52/53 Tahun 2000 ini menjadi PP, maka kecenderungan yang berjalan adalah terjadinya pemaksaan peraturan (regulatory capture),” ujar Hanafi melalui keterangan tertulisnya, Selasa (1/11/2016).
Aturan ini disebutkannya hanya dibuat untuk kepentingan tertentu, sehingga ada pemain yang kalah bersaing di pasar, lalu mereka menggunakan tangan pemerintah agar dapat mengintervensi pasar dengan cara yang ‘kasar’. Intervensi ini membuat provitabilitas mereka menjadi kembali membaik.
“Seharusnya regulator tidak berpihak pada salah satu golongan dan harus berpihak kepada kepentingan masyarakat. Justru yang saat ini terjadi adalah regulator dipakai untuk rebalancing demi kepentingan investor swasta asing,” terang Hanafi.
Sementara Dr Arie Sujito, Dosen Departemen Sosiologi FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM) menilai, revisi PP ini merupakan pertarungan antara BUMN telekomunikasi Indonesia dengan BUMN telekomunikasi asing.
Dosen UGM itu menduga, Menkominfo hanya melihat liberalisasi ekonomi ini memiliki kesempatan yang cukup baik untuk perkembangan industri telekomunikasi dan investor asing dapat masuk ke Indonesia.
“Mereka tak sadar berapa besar dampak yang ditimbulkan investor asing tersebut masuk terhadap eksistensi serta keberlanjutan industri strategis nasional,” paparnya.
Arie menilai, saat ini telah terjadi distorsi filosofi network sharing atau pemanfaatan infrastruktur bersama yang telah dibangun oleh BUMN nasional yang boleh ditumpangi oleh swasta asing. Seolah-olah network sharing ini menguntungkan konsumen.
Namun sebetulnya akan mengurangi keuntungan BUMN nasional, memperbesar keuntungan investor asing, dan sekaligus mengancam pendapatan negara.
Arie menegaskan, sangat tidak fair bila BUMN nasional dibebani membangun hingga pelosok negeri. Sementara itu, BUMN telekomunikasi asing hanya menggarap di daerah yang menguntungkan saja.
“Akan sangat tidak fair lagi jika pembangunan infrastruktur di daerah pelosok yang dibangun oleh BUMN nasional dapat ditumpangi oleh BUMN swasta asing atas nama aselerasi,” imbuhnya.
Arie meyakini bahwa Presiden Jokowi tidak tahu persis mengenai pergulatan revisi PP 52/53 ini.
“Pemahaman network sharing sepertinya hanya dipahami Presiden Jokowi sebagai sharing tower. Padahal permasalahannya tak hanya itu. Kalau sharing tower hanya persoalan teknis. Menjadi substansif ketika jaringan tersebut melekat pada distribusi data dan pengalihan frekuensi yang menjadi milik negara,” pungkasnya.