Sejak UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hadir, pengguna media sosial banyak yang khawatir. Undang-undang ini pada awalnya untuk melindungi kepentingan Negara, publik, dan swasta dari kejahatan siber (cyber crime). Saat itu ada 3 pasal mengenai defamation (pencemaran nama baik), penodaan agama, dan ancaman online.
Semula, ketiga pasal itu dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber. Namun, kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah.
Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang 2016 ada lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan pencemaran nama baik, penodaan agama, dan ancaman, yang berbasiskan UU ITE. SAFENET juga mencatat munculnya 4 (empat) pola pemidanaan baru yaitu: aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik dan terapi kejut yang sangat berbeda, jika tidak dapat disebut menyimpang dari tujuan awal ketika UU ITE dibentuk.
Kini, UU No. 18 Tahun 2008 telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016. Undang-undang yang disahkan pada Oktober 2016, itu dinilai tak jauh beda dengan UU sebelumnya. Soalnya, salah satu hasil revisi adalah menyatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tertentu.
“Terakhir pemerintah melalui Kemenkominfo memblokir aplikasi Bigo Live lantaran dianggap mengandung nudity,” kata Regional Coordinator SAFEnet, Damar Juniarto.
Menurutnya, revisi UU ITE bukan terhadap hal-hal yang penting yang seharusnya direvisi. Malahan, kata Damar, Kemenkominfo memasukkan pasal lain, seperti right to be forgotten. Dia mengatakan, pasal itu sebelumnya tidak ada dalam revisi UU ITE, tapi muncul dalam pembahasan di DPR.
Damar mempertanyakan untuk apa dan siapa pasal tersebut karena di luar negeri, pasal itu berhubungan dengan hak privasi seseorang. Sementara Indonesia tidak memiliki UU Privasi, artinya melampaui pasal right to be forgotten.
Pasal lain yang berpengaruh terhadap kehidupan pengguna media sosial adalah pemblokiran. Menurut Damar, pasal mengenai pemblokiran berpotensi abuse lantaran pemerintah memiliki wewenang penuh untuk melakukan pemblokiran tersebut.
Sedangkan Pasal 27 ayat (3) menurut Damar, tidak begitu pengaruh dengan dunia media. Ia berpandangan, pemerintah dan Komisi I DPR mengurangi sifat represi dari pasal ini dengan mengurangi jumlah orang ditahan sebelum melalui proses pengadilan.
“Artinya hanya bagian kecil dari revisi undang-undang ini. Pengurangan risiko pada penahanan itu apakah berdampak banyak pada kasus-kasus itu ternyata tidak terlalu banyak. Ternyata itu trennya enam kali perbulan pelaporan. Apakah trennya akan mengurangi saya kira tidak, yang terkurangi hanya orang tertahan,” ujar Damar.
Damar juga mengaku cemas mengenai adanya Pasal 40 mengenai pemblokiran. Soalnya, sejak lama masyarakat sipil sudah meminta bahwa kewenangan filter dan blokir melalui mekanisme pengadilan. Menurutnya, itu adalah cara yang lebih fair dan adil. Dengan adanya Pasal 40, kata Damar, artinya kewenangan penuh pemblokiran dimungkinkan hanya berdasarkan pendapat pemerintah.
“Itukan berarti menutup kemungkinan suara lain atau pertimbangan lain yang bisa saja benar. Meski yang masuk ke dalam muatan yang dilarang adalah terorisme, prornografi, tapi berdasarkan pengalaman sebelumnya dimasukkan juga LGBT, Papua yang tidak masuk ke dalam muatan yang dilarang. Artinya, ada kemungkinan pasal ini di-abuse sangat besar,” tuturnya.
Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, berpendapat perubahan UU ITE sangat membantu masyarakat yang menggunakan media sosial. Menurutnya, di dalam UU ITE yang baru telah dijelaskan bagaimana cara menggunakan media sosial yang benar. (Baca Juga: DPR: Hak untuk Dilupakan di UU ITE Tak Berlaku Bagi Koruptor)
Dengan adanya UU ITE yang baru, kata Teguh, sudah sepatutnya masyarakat memahami hal apa saja yang tidak boleh ditulis dan dibagikan (share) melalui media sosial. Masyarakat juga harus bijak dalam menggunakan media sosial dengan berpikir ulang atas informasi apa yang ingin dibagikan ke orang lain yang nantinya akan dibagikan juga oleh orang lain tersebut.
“Seharusnya tak perlu ada yang dikhawatirkan oleh masyarakat, terutama pengguna media sosial,” ujar Teguh.
Hal yang sama diungkapkan dosen Ilmu Hukum Universitas Bina Nusantara, Bambang Pratama. Menurutnya, perubahan UU ITE tak menakutkan. Sebaliknya, ia menilai perubahan UU ITE justru memberi kelonggaran kepada masyarakat dikarenakan dua hal, yaitu, pertama, delik aduan yang semua orang tidak bisa melaporkan dan, kedua, tidak ada penahanan.
“Perubahan UU ITE tidak menakutkan, sebaliknya perubahan ini melonggarkan masyarakat. Tapi saya takut dengan banyaknya isu SARA (penistaan agama), pasal ini dibawa-bawa untuk menakuti masyarakat,” katanya.
Bambang mengatakan, dilihat dari perkembangan teknologi saat ini, sudah sepatutnya masyarakat terutama pengguna media sosial untuk bijak dalam menyebarluaskan informasi. Sebagus apapun UU dibuat, kata Bambang, tak akan berpengaruh tanpa adanya kesadaran hukum dari masyarakat. Untuk itu, Bambang memberikan beberapa tips agar masyarakat bijak dan tidak tergelincir dalam menggunakan media sosial.