Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seyogianya bisa mengakhiri polemik tentang peninjauan kembali (PK) oleh jaksa. Dalam putusan No. 33/PUU-XIV/2016, Mahkamah memutuskan Pasal 263 ayat (1) KUHAPbertentangan dengan UUD 1945 jika dibaca lain daripada yang dimaksud dalam pasal a quo. Pasal tersebut sudah jelas menyebut yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya.
Namun, ternyata polemik mengenai PK masih mencuat, khususnya dalam diskusi praktisi dan akademisi yang digelar Lembaga Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di Depok, Rabu (10/8) kemarin. Diskusi itu sebetulnya khusus membahas implikasi putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 terhadap sistem peradilan pidana.
Adalah jaksa Yudi Kristiana yang secara terbuka menyebut kemungkinan jaksa tak mengikuti atau menuruti putusan MK tersebut. Dengan kata lain, sangat mungkin jaksa tetap mengajukan PK ke pengadilan. “Mohon maaf, saya yakin putusan MK itu tidak akan diikuti oleh Jaksa,” kata Yudi.
Misalkan ada potensi kerugian negara yang besar, jaksa yakin atas bukti-bukti yang dimiliknya, dan hakim membebaskan terdakwa, maka sudah seharusnya jaksa untuk dan atas nama negara bisa mengajukan PK. “Kalau putusannya tidak diterima, masa jaksa sebagai penuntut membiarkan saja,” tegas jaksa yang kini bertugas di diklat Kejaksaan Agung itu.
Mengaku apa yang dia sampaikan sebagai pendapat pribadi, Yudi mengatakan tujuan hukum memberikan keadilan lebih penting dari sekadar hukum acara. Meskipun formalitas penting, seorang aparat penegak hukum harus bisa melakukan terobosan-terobosan agar tujuan hukum tercapai. Putusan MK berpotensi mereduksi pencapaian tujuan hukum yang dilakukan oleh jaksa karena jabatannya mewakili kepentingan umum. “Dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materiil,” tegasnya.
Advokat senior Luhut MP Pangaribuan menyanggah pandangan Yudi. Menurut Luhut, untuk mencapai tujuan hukum tidak bisa menghalalkan segala cara. Hukum adalah sebuah sistem. Aparat hukum harus bekerja dalam sistem itu. Hukum tidak dijalankan berdasarkan sangkaan dan pandangan pribadi orang perorang. Berbahaya kalau penegakan hukum didasarkan pada pandangan pribadi seorang aparat penegak hukum.
PK adalah upaya hukum luar biasa yang selama bertahun-tahun menjadi kontroversi. Setidaknya, setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan PK oleh jaksa dalam perkara aktivis perburuhan zaman Orde Baru, Mochtar Pakpahan. Setelah itu, ada beberapa putusan MA yang mengakomodasi hak jaksa mengajukan PK, dengan alasan-alasan yang berbeda. Misalnya, putusan MA atas nama terdakwa Soetiyawati, Pollycarpus Budihari Priyanto, dan Joko S Tjandra.
Sejak putusan perkara Mochtar Pakpahan, berkali-kali jaksa mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Sikap hakim agung pun beragam. Ada yang menolak hak jaksa, ada pula yang menyetujui karena alasan tertentu. Pertanyaan yang mengemuka, apakah hakim agung tunduk pada putusan MK tersebut? Dalam kasus putusan MK mengenai Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor, faktanya hakim agung cenderung mengabaikan. Hakim agung tetap bisa menghukum seseorang karena perbuatan melanggar hukum secara materiil. Alasannya, sudah ada yurisprudensi sebelum putusan MK terbit.
Prospektif
Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI Satya Arinanto menegaskan setiap putusan MK berlaku sejak saat diucapkan dalam sidang terbuka. Putusan pengujian Undang-Undang mengikat semua orang, bukan hanya pihak yang mengajukan. “Sejak itu, putusan mengikat ke depan,” tegas Prof. Satya.
Sebelum MK mengeluarkan putusan No. 33/PUU-XIV/2016, sebenarnya Mahkamah Agung sudah memberikan pedoman lewat SEMA No. 4 Tahun 2014. SEMA tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan ini eksplisit menyebut jaksa tidak boleh mengajukan PK. Yang berhak mengajukan PK berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah terpidana atau ahli warisnya.
Luhut memahami SEMA No. 4 Tahun 2014 itu sebagai bentuk koreksi MA terhadap kekeliruan praktik yang selama ini terjadi. Dua tahun setelah MA membuat SEMA itu, Mahkamah Konstitusi membuat putusan penting yang intinya sama: melarang jaksa mengajukan PK berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Bukankah KUHAP sudah memberikan hak kepada jaksa untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum? Dalam wawancara dengan hukumonline, ahli hukum pidana Chairul Huda sudah menyebut agar para pihak kembali ke khittah Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Ia menilai putusan MK sudah benar.
Pembentuk KUHAP telah memberikan keseimbangan hak kepada jaksa dan terdakwa/terpidana. Jaksa memiliki hak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum, terpidana atau keluarganya berhak mengajukan PK. Tapi faktanya, hingga kini masalah PK masih terus menimbulkan polemik di kalangan praktisi dan akademisi.