Program pengampunan pajak atau tax amnesty yang digalakkan Pemerintah saat ini adalah momentum tepat untuk membenahi Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak dinilai ketinggalan dalam isu transparansi, pemberantasan korupsi, dan kemampuan menangani perkara.
Af Maftuchan, peneliti Perkumpulan Prakarsa, mengatakan tax amnesty adalah bagian dari pembenahan sektor pajak, khususnya kepatuhan Wajib Pajak (WP) membayar kewajibannya. Karena itu pula pembenahan itu harus mencakup pula Pengadilan Pajak.
Reformasi pengadilan pajak, kata dia, dilakukan karena pengadilan yang berpayung pada UU No. 14 Tahun 2002 ini sudah ketinggalan, baik dari sisi kemampuan menangani perkara yang melimpah, tepat waktu dan kualitas, maupun dari sisi keterbukaan atau transparansi dan anti korupsi. “Yang perlu mendapatkan perhatian serius di isu pajak dan korupsi adalah reformasi pengadilan pajak,” kata Maftuchan
Menurut Maftuchan, reformasi pengadilan pajak merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sistem peradilan pajak. Saat ini, kelembagaan pengadilan pajak dipandang tidak memadai karena hanya berkedudukan di Jakarta, dan dua tempat persidangan di Surabaya, dan Yogyakarta.
Padahal, lanjutnya, kantong-kantong industri baru tumbuh di berbagai daerah lain misalnya Makasar, Kalimantan, dan Medan. Biasanya, perkembangan bisnis yang meningkat di di suatu daerah berbanding lurus dengan kasus perpajakan yang muncul. Karena jumlah perusahaan akan meningkat diikuti dengan jumlah orang kaya yang juga meningkat. Inilah yang mengakibatkan kemampuan pengadilan pajak untuk menangani perkara pajak yang jumlahnya besar menjadi tidak optimal yang pada akhirnya memunculkan potensi korupsi.
Menurut Maftuchan, pengadilan pajak haruslah independen. Karena itu, pengadilan pajak bisa berada dibawah supervisi Mahkamah Agung (MA). Kemenkeu adalah eksekutif, sedangkan domain Pengadilan Pajak lebih ke yudikatif. “Kemenkeu domainnya bukan yudikatif, Kemenkeu eksekutif sehingga menjadi bias kalau dia eksekutif, dia (membuat) regulasi, dia sekaligus juga memutus,” ujarnya.
Koordinator Nasional Pay What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mendukung pandangan Maftuchan. Maryati menilai pengadilan pajak harus memiliki otoritas yang kuat seperti menangkap dan melakukan penyadapan. Bahkan, pengadilan pajak seharusnya melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum lain untuk menindak tindak pidana perpajakan.
“Karena transaksi keuangan juga berawal dari percakapan dan sebagainya, kalau jumlah pengadilan pajak cuma tiga sementara kasus banyak, jika diselesaikan satu persatu itu bisa jadi potensi bagi negara. Harus dilakukan reformasi kelembagaan besar-besaran,” pungkasnya.
Mengenai putusan, Maftuchan berpendapat sebaiknya putusan pengadilan pajak bersifat final. Tujuannya agar perkara tidak berlarut-larut yang menyebabkan ketidakpastian hukum.