Pengujian UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak terhadap UUD 1945 masih terus disidangkan Mahkamah Konstitusi. Seolah tak terganggu permohonan judicial review itu, Pemerintah terus melakukan program pengampunan pajak, dan kini sudah memasuki periode kedua.
Ada beragam argumen yang dibangun para pemohon pengujian UU Pengampunan Pajak. Argumen mengenai keadilan, misalnya, digaungkan kalangan buruh. Para pekerja mengklaim terus menerus dipotong pajak dari gaji, tetapi yang diberi pengampunan pajak justru wajib pajak yang selama ini cenderung tak melaporkan hartanya dengan benar.
UU Pengampunan Pajak pada hakikatnya lebih sebagai ‘pengampunan’ ketimbang mengatur pemungutan pajak. Karena itu, praktisi hukum Hermawanto menganggap landasan konstitusional yang dipakai UU Pengampunan Pajak keliru.
Konsiderans UU Pengampunan Pajak menyebut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Ini adalah landasan konstitusional pembentukan peraturan perundang-undangannya. Disebutkan pula Pasal 23A UUD 1945, yakni landasan konstitusional pungutan pajak. Pasal ini menegaskan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Hermawanto berpendapat landasan konstitusional ini kurang pas. Keliru karena, kata mantan Direktur LBH Jakarta ini, dasar pijakan yang pas adalah Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Pasal ini menegaskan “Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”. UU Pengampunan Pajak harus dilihat sebagai bagian dari amnesti. (Baca Juga: Parameter Penilaian Hukuman Mati dan Penolakan Grasi Harus Jelas)
“Harusnya kalau mau bicara pengampunan pajak atau amnesti, dasar hukumnya adalah Pasal 14 ayat (2). Tetapi ternyata yang digunakan sebagai dasar hukum Pasal 23A,” kata Hermawanto dalam diskusi di Jakarta, Senin (10/10).
Intinya, pengampunan pajak tak seharusnya merujuk pada penarikan atau pungutan pajak. Pengampunan dan pungutan pajak adalah dua hal yang berbeda. “Kalau menarik (pajak) ‘kan berarti dapat uang banyak, kalau pengampunan ‘kan kita mengurangi hak-hak kita. Jadi itu menurut saya dasar hukum keliru. Dari sini saja UU Pengampunan Pajak sudah salah,” jelasnya.
Atas dasar itu Hermawanto berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU Pengampunan Pajak. Kalau menggunakan perspektif normatif, Hermawanto yakin Mahkamah akan mengabulkan. Sebaliknya, jika menggunakan perspektif lain, seluruh permohonan bisa saja ditolak. Argumen yang paling aman adalah menyebut pengampunan pajak sebagai kebijakan terbuka (open legal policy).