Hak setiap warga negara atas informasi sebenarnya sudah diatur dalam konstitusi, dan dijabarkan dalam banyak Undang-Undang. Sekadar menyebut, ada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), dan UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Praktiknya, yang paling banyak mengancam kriminalisasi masyarakat adalah UU ITE. Hak masyarakat berinformasi terancam oleh tuduhan pencemaran nama baik yang mudah digunakan oleh siapapun. Puluhan orang harus berhadapan dengan aparat penegak hukum karena tuduhan pencemaran nama baik.
Berdasarkan pengamatan Dosen Ilmu Hukum Universitas Bina Nusantara, Bambang Pratama, UU ITE adalah peraturan berinformasi yang paling banyak menimbulkan masalah bagi masyarakat, khususnya Pasal 27 dan 28. Problem yang timbul pada dasarnya berkaitan dengan budaya berinformasi masyarakat dan Pemerintah.
Pada masyarakat, kendala yang dialami adalah tentang bagaimana cara berinformasi yang dibenarkan oleh hukum. Sebaliknya, kendala yang dialamai Pemerintah adalah pengetahuan untuk menentukan apakah masyarakat berinformasi melawan hukum apa tidak. Kedua pasal itu acapkali dipakai untuk memenjarakan orang dan ditafsirkan begitu luas sehingga sering disebut pasal karet.
Bambang berpendapat penerapan Pasal 27 dan 28 UU ITE cenderung tidak ada masalah jika aparat penegak hukum merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 sudah menegaskan pentignya merujuk Pasal 310 dan 311 KUHP dalam hal ada tuduhan pencemaran nama baik.
“Pasal 27 itu jelas-jels bukan pasal karet kerena sudah ada penjelasannya dalam putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan Pasal 27 Ayat (3) harus mengacu kepada pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUH Pidana,” ungkapnya seperti yang dikutip dari hukumonline.com, Minggu (18/9).
Bambang justru mempertanyakan bagian mana yang ingin direvisi dari Pasal 27 dan 28 UU ITE. Interpretasi atas pasal itu, kata dia, tetap harus merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi. “Apa yang harus diamandemen terkait Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yemg jelas-jelas sudah diajarkan oleh MK”.
Bambang mengatakan, permasalahan yang terjadi sekarang adanya asimetrik informasi dari pihak Kominfo dan DPR terhadp Putusan MK. Ia melanjutkan, untuk pembahasan mengenai UU ITE, tidak bisa mengandalkan teori–teori dalam bidang hukum saja.
“Untuk dapat menjelaskan secara yuridis normatif penyebaran informasi di dalam cyberspace, tentu tidak bisa hanya mengandalkan teori hukum saja. Alasannya, cyberspace adalah hasil dari konvergensi dari empat bidang ilmu, yaitu teknologi, telekomunikasi, informasi dan komunikasi,” ungkapnya.