Aturan yang mengatur kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur dapat mengurusi Perda APBD dan Perda Organisasi Perangkat Daerah Menurut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dinilai melanggar konstitusi yang menjamin pelaksanaan tugas kepala daerah.
“Pengalaman saya sebagai kepala daerah, selaku Plt tidak boleh berwenang menangani Perda APBD dan Perda Organisasi, tetapi day to day pemerintahan masih boleh,” ujar Ahok usai mendengarkan pandangan ahli pemerintah, Djohermansyah Djohan, di sidang lanjutan pengujian Pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait kewajiban cuti petahanasaat kampanye di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (06/10).
Ahok mempertanyakan bagaimana bisa Permendagri sebelumnya menyatakan Plt gubernur tidak boleh menangani Perda APBD. Namun, Permendagri No. 74 Tahun 2016 ini memberi wewenang Plt Gubernur baik dari Kemendagri atau pemprov mengurusi Perda APBD saat masih ada gubernur yang menjabat.
“Ini membingungkan saya, kenapa sekarang aturannya berbeda, sekarang tiba-tiba Plt Gubernur boleh. Lalu, tanggung jawab yang ketok palu dan putuskan APBD. Nantinya, audit BPK juga jadi bingung karena tidak ada serah terima (jabatan) dan audit masa jabatan saya. Sebelum dan sesudah saya menjabat nanti diperiksa lagi?
Ahok pun mengaku tidak masalah jika nantinya hasil putusan MK menyatakan tetap mewakjibkan dirinya harus cuti selama masa kampanye. Dia khawatir bagaimana bisa Plt Gubernur yang ditunjuk membahas APBD yang sudah dibahas gubernur yang sedang menjabat. Sebab, hingga saat ini pihaknya masih membahas APBD 2017 hingga Februari tahun depan.
“Saya diwajibkan cuti sampai Februari 2017, sementara Permendagri No. 74, APBD DKI Jakarta harus diketok Februari 2017, tetapi Permendagri yang lama APBD 2017 disahkan 30 Desember 2016. Ini bagaimana penjelasan?”
Djohermansyah Djohan dalam keterangannya menyebut isi Permendagri No. 74 Tahun 2016. Isinya ada beberapa tugas Plt Gubernur atau walikota/bupati yakni mengawal dan menyukseskan penyelenggaraan Pilkada serentak 2017, menangani proses penyusunan APBD Tahun Anggaran 2017, menyusun Perda penataan organisasi perangkat daerah, melaksanakan tugas pemerintah sehari-hari.
Bagi gubernur ditunjuk pelaksana tugas (Plt) dari pejabat pimpinan tingkat madya di kemendagri atau pejabat pemerintah provinsi lain yang memiliki reputasi baik dalam karier pemerintahan dan bebas dari konflik kepentingan. (Baca Juga: Pilih Calon Hakim Ad hoc Tipikor, Perhatikan Gejala Ini)
Sementara itu, Djohermansyah meminta Ahok tidak perlu bingung. Baginya, hal yang lumrah ketika ada perubahan kebijakan penyelenggaraan pilkada yang lebih berkualitas. “Dinamika perubahan kebijakan selalu begitu. Jadi, jangan bingung-bingung, nanti kalau bingung di pemerintahan Saudara tidak bisa mengurus rakyat dengan baik,” sindirnya.
Yang terpenting, pedomani aturan main dalam penyelenggaraan pilkada ini. “Pegang saja, sekarang aturan main yang berlaku yang mana? Kalau yang aturan-aturan lama ya tidak usah dipakai,” pintanya.
Menurutnya, terbitnya Permendagri No. 74 Tahun 2016 untuk merespon fenomena terakhir terkait terbitnya aturan kewajiban cuti petahana dalam UU No. 10 Tahun 2016. Dia mengakui lewat Permendagri ini, Plt kepala daerah diberi mandat atau wewenang yang lebih besar ketimbang Permendagri sebelumnya.
“Aturan ini memang mengatur batas-batas tugas Plt kepala daerah yang merupakan fenomena baru, berbeda dengan aturan lama yang tidak mengatur penetapan Perda, hanya mengawasi pemerintahan sehari-hari,” akunya
Permohonan Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Pilkada ini diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta (petahana) Basuki T. Purnama alias Ahok. Alasannya, pasal ini dapat ditafsirkan bahwa kepala daerah petahana (incumbent) wajib menjalani cuti di luar tanggungan negara saat kampanye sekitar 4-6 bulan. Penafsiran ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena dirinya merasa bertanggung jawab sebagai Gubernur DKI hingga Oktober 2017 untuk menyelesaikan beberapa program prioritas Pemprov DKI secara penuh.
Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada seharusnya ditafsirkan bersifat opsional atau pilihan (tidak wajib) cuti kampanye bagi kepala daerah petahana yang hendak mencalonkan kembali di daerah yang sama. Artinya, kepala daerah petahana dapat memilih tidak cuti kampanye agar bisa fokus bekerja secara penuh menyelesaikan tugas kepala daerah dan tidak berkampanye untuk menghindari penyalahgunaan jabatan atau konflik kepentingan.