Mahkamah Agung (MA) masih menyeleksi para calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor). Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Aradila Caesar, mencatat panitia seleksi (pansel) calon hakim ad hoc Tipikor telah meloloskan 85 calon hakim untuk masuk tahap profile assessment dan wawancara. Dari jumlah itu mayoritas berprofesi sebagai advokat, 14 orang hakim dan/atau mantan hakim, 6 orang panitera dan/atau mantan panitera, 5 orang pekerja swasta, 8 orang PNS dan 4 orang TNI dan/atau purnawirawan.
Sebelum itu, peneliti MAPPI, M. Rizaldi menyebut ada 4 gejala yang perlu dicermati dari para pelamar tersebut. Pertama, waspadai kemungkinan calon merupakan pencari kerja. Dari penelusuran ICW dan MAPPI, banyak calon merupakan pensiunan hakim, panitera, PNS, TNI dan mantan hakim ad hoc PHI serta advokat yang tidak diketahui banyak rekam jejaknya.
Kedua, waspadai calon yang yang berasal atau berafiliasi dengan parpol dan mantan anggota DPRD. Ini patut jadi perhatian karena hakim harus independen dan menghindari konflik kepentingan. Ketiga, sebagian calon tidak memenuhi syarat 15 tahun berpengalaman di bidang hukum tipikor. Keempat, kompetensi calon lemah dan mayoritas tidak punya pemahaman yang cukup baik tentang korupsi.
“Gejala-gejala ini harus dicermati oleh pansel, apakah persoalan integritas, independensi dan kompetensi sudah dimiliki atau belum oleh para calon. Jangan hanya mengejar kuantitas saja tanpa memperhatikan kualitas dan kapabilitas,” kata Rizaldi seperti yang dilansir hukumonline.com
Staf Direktorat Program YLBHI, Julius Ibrani, menilai rekrutmen hakim ad hoc Tipikor yang dilakukan pansel cenderung mengutamakan kuantitas. Padahal para calon hakim ad hoc itu harusnya orang yang berpengalaman dan punya kompetensi khusus di bidang tipikor. Dia juga menyayangkan proses rekrutmen yang tidak melibatkan masyarakat sipil dan Komisi Yudisial (KY). (Baca Juga: Todung Mulya Lubis: RKUHP Atur Pidana Mati Tak Absolut)
Julius menyoroti pansel karena tidak spesifik mengatur salah satu syarat yang perlu dipenihi calon yaitu berpengalaman hukum tipikor. Maka tidak heran dalam proses seleksi yang berjalan ada calon yang tidak mampu menjawab pertanyaan seputar isu korupsi. Menurutnya, ini juga terjadi dalam proses rekrutmen hakim ad hoc tipikor periode sebelumnya. “Akibatnya tren vonis yang dijatuhkan hakim tipikor belakangan ini menurun,” ujarnya.
Wakil Ketua KY, Sukma Violeta, mengusulkan agar pansel membenahi proses seleksi yang dilakukan sehingga menghasilkan calon yang berkualitas. Dia melihat ada calon yang tidak memenuhi syarat 15 tahun berpengalaman di bidang hukum, tapi lolos seleksi tahap berikutnya.Menurutnya, para calon perlu di tes untuk membuat putusan. Cara itu bisa digunakan untuk mengetahui bagaimana kualitas calon tersebut
“Tesnya itu jangan hanya multiple choice atau essai, tapi juga di tes membuat putusan. Dari situ bisa dilihat si calon berkualitas atau tidak untuk menjadi hakim tipikor, ” usul Sukma.
Sukma menjelaskan unruk rekrutmen hakim tipikor periode sekarang KY tidak terlibat karena terkendala anggaran. Anggaran KY saat ini dipamgkas 30 persen. Namun, untuk rekrutmen periode sebelumnya KY selalu terlibat sejak 2012. KY melakukan investigasi terhadap para calon. Hasil investigasi itu digunakan sebagai bahan penilaian KY terhadap calon hakim.
KY memberi tanda merah bagi calon hakim yang nilainya paling buruk. Sayangnya, hasil investigasi KY terhadap para calon itu tidak dimanfaatkan maksimal oleh pansel. Buktinya, ada calon yang diberi tanda merah tapi lolos menjadi hakim. “Tolong proses seleksi ini diperbaiki. Kalau calon sudah diberi tanda merah mestinya dipertimbangkan lagi,” tukasnya.