Kebijakan di bidang perpajakan yang ditetapkan pemerinah selama dua tahun terakhir antara lain UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
Sejumlah warga telah mempersoalkan UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk ‘gugatan’ atas kebijakan pemerintah di bidang perpajakan.
Namun, Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai sejauh ini visi perpajakan Jokowi-JK sudah tepat dengan melakukan shifting dari belanja ke pendapatan. Persoalannya terletak pada implementasi yang belum sinkron dengan visi perpajakan.
Menurut Yustinus, Pemerintah harus membuat suatu roadmap kebijakan pajak yang jelas agar kebijakan tersebut bisa dijalankan secara komprehensif dan inline dengan visi perpajakan Presiden. Jika tidak, Yustinus khawatir jika tiap tahun pemerintah hanya berkutat untuk merespon semua yang terjadi di pasar. “Dikhawatirkan tiap tahun pemerintah hanya capek merespons apa yang terjadi di pasar tapi tidak punya direction, arah ke mana,” kata Yustinus di Jakarta
Idealnya, Pemerintah perlu membangun fundamental perpajakan. Demi menciptakan sistem perpajakan yang baik, Pemerintah juga perlu menciptakan regulasi yang baik, jelas, dan berkepastian hukum. Sistem perpajakan disajikan lewat aturan administrasi yang mudah, murah, dan transparan serta didukung dengan aparatur yang kompeten dan kredibel untuk membangun sistem perpajakan yang kuat dan baik. “Beberapa hal ini memang harus dilakukan secara bersamaan,” kata Yustinus.
Diakui Yustinus, Pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya masih terganjal beberapa persoalan. Misalnya, upaya untuk menghadapi Based Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan menerapkan Automatic Exchange of Tax Information in Finansial Sector (AEOI) masih terhalang kerahasiaan perbankan. Perundang-undangan perbankan Indonesia belum sejalan dengan aturan perpajakan. Indonesia juga perlu mengadaptasi standard yang ditetapkan kerjasama negara-negara OECD, menyiapkan regulasi teknis, perbaikan sistem dan peningkatan kompetensi.
Pemerintahan Jokowi-JK juga perlu menyiapkan strategi yang tepat pasca amnesty pajak. Pasalnya, hal ini sangat menentukan peningkatan penerimaan pajak yang berkelanjutan di masa mendatang. Audit dapat menjadi sarana efektif untuk meningkatkan probability of apprehension.
Catatan selanjutnya adalah transformasi kelembagaan pajak menjadi Ditjen Pajak lembaga semi-otonom dengan tetap memperhatikan dinamika sarana dan tujuan. Transformasi harus diletakkan dalam konteks membangung otoritas perpajakan yang akuntabel, transparan, dan kredibel. Dan mengimplementasikan pemungutan pajak yang cakupannya diperluas dengan pendetakan barang-barang mewah yang dikonsumsi, dengan tarif murah dan dapat dikreditkan. “Penerapan cash register untuk level retail guna mencegah kebocoran PPN,” ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR Indah Kurnia sepakat reformasi perpajakan dilakukan secara menyeluruh. Sinkronisasi antar undang-undang perlu dipastikan agar reformasi perpajakan tidak terbentur regulasi. Saat ini, DPR sudah membahas revisi tiga UU terkait perpajakan: RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), RUU Pajak Penghasilan (PPh) dan RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang ditargetkan akan selesai pada 2017 mendatang.
“Semua undang-undang harus saling terkait dan bersinergi. Ketika UU KUP lolos, maka undang-undang yang lain juga harus diikutsertakan,” kata Indah pada acara yang sama.
Oleh sebab itu, dalam rangka reformasi perpajakan juga diperlukan sinkronisasi dengan RUU Perbankan dan RUU Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang akan segera dibahas dan diperbaiki. Indah memandang penting revisi UU Perbankan karena perlu memasukkan aspek keterbukaan informasi. Dengan keterbukaan informasi Ditjen Pajak bisa melakukan pengawasan terhadap WP yang selama ini tidak membayar pajak secara jujur.