Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang tanggung jawab pidana korporasi akan mengatur perluasan subjek hukum sehingga dapat membawa korporasi ke muka pengadilan.
“Tinggal satu tahap saja kepada rapat pimpinan MA, semua sudah selesai, setelah itu disahkan supaya tidak ada subjek hukum yang kebal hukum di negeri ini. Sekarang kan hambatannya di hukum acara banyak kendala, (subjek hukum) harus ada agama, jenis kelamin, itu saja, padahal di korporasi tidak ada, dalam Perma yang ada jenis perusahaan menggantikan jenis kelamin, nanti lengkap perma itu,” kata Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar
Panitia penyusun Perma tersebut terdiri atas MA, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung.
“Setelah Perma ini tidak ada keraguan lagi, tidak akan ada lagi tumpang tindih, nanti diatur dalam perma itu,” tambah Artidjo.
Dalam Perma juga akan diatur mengenai siapa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidana terkait korporasi, apakah pengurus korporasi atau korporasi tersebut sebagailembaga.
“Dalam anggaran dasar (AD) setiap perusahaan kan ada siapa yang bertanggung jawab di luar atau di dalam pengadilan. Di dalam konstitusi perusahaan ada itu AD-ART-nya, jadi mengikuti itu,” ungkap Artidjo.
Bahkan, menurut Artidjo, sudah ada yurisprudensi dalam kejahatan korporasi tersebut.
“Sudah ada putsan di Banjarmasin yang sudah dipidana, yurisprudensinya sudah banyak,” tambah Artidjo.
Kasus yang dimaksud adalah kasus PT Giri Jaladhi Wana yang menjadi satu-satunya kasus korporasi yang diadili di Indonesia.
Hakim mempertimbangkan pengembangan dari Pasal 20 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menghukum perusahaan itu untuk membayar denda Rp1,317 miliar serta pidana tambahan penutupan sementara selama 6 bulan.
“Tentunya konsekuensi ‘aset recovery’ kekayaan negara yang masuk korporasi akan diberikan status hukum,” jelas Artidjo.
Sedangkan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan bahwa ia pun sudah ikut melatih penyidik KPK, polisi, jaksa hingga hakim untuk kejahatan korporasi.
“Saya sendiri yang mengajar, polisi, jaksa, termasuk POM TNI dengan (penyidik) KPK. Kita bicara dengan Pak Artidjo, hakimnya juga diikutkan, walau awalnya takutnya disebut diintervensi. Tapi menurut Pak Artidjo, kalau pelatihan tidak apa-apa karena bukan ‘internal training’ tapi ‘collaborative training’ yang berkaitan dengan korporasi,” kata Laode.