Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan paket kebijakan bidang pengawasan dengan menerbitkan tiga peraturan MA (Perma). Perma No. 7 Tahun 2016 mengatur tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim pada MA dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya; Perma No. 8 Tahun 2016 mengatur tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya; dan Perma No. 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (whistleblowing system) di MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.
Ketiga beleid ini diarahkan pada peningkatan atau penegakan disiplin kerja para hakim, hakim agung, dan semua aparatur peradilan dalam upaya pencegahan dari segala bentuk penyimpangan atau pelanggaran perilaku. Caranya, dengan memperketat pengawasan melekat hakim dan nonhakim di lembaga peradilan secara berjenjang terutama dalam hal jam kerja dan pelaksanaan standar operating prosedur (SOP) di satuan kerja masing-masing.
Misalnya, tugas rutin para hakim agung diawasi langsung ketua kamarnya masing-masing dan seterusnya termasuk semua pegawai dalam struktur kesekretariatan dan kepaniteraandiMahkamah Agung. Demikian pula, kinerja rutin para hakim atau hakim tinggi diawasi langsung pimpinan pengadilan masing-masing termasuk semua pegawai dalam struktur kesekretariatan dan kepaniteraan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
Namun, satu hal yang membedakan dengan beberapa pengawasan sebelumnya yakni Ketua MA bisa dijatuhi sanksi apabila melakukan tindakan indispliner dalam melaksanakan tugasnya. “Makanya, kita katakan Perma Pengawasan ini spektakuler karena Ketua MA bisa dijatuhi sanksi oleh Pimpinan MA,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA saat dihubungi hukumonline, Jum’at (5/8).
Dalam Pasal 19 ayat (5) Perma No. 7 Tahun 2016 disebutkan “Rapat Pimpinan Mahkamah Agung membahas dan mengambil keputusan yang dianggap perlu apabila Ketua Mahkamah Agung tidak mematuhi ketentuan mengenai jam kerja atau tidak memeriksakan kesehatan dan mengajukan permintaan cuti sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Mahkamah ini.”
Pasal 21 ayat (2) disebutkan, “Ketua Mahkamah Agung bila tidak memenuhi kewajiban melakukan pembinaan dan pemeriksaan terhadap Wakil Ketua Mahkamah Agung atas pelanggaran terhadap ketentuan disiplin kerja Hakim sebagaimana diatur dalam peraturan ini dijatuhi sanksi ringan oleh Rapat Pimpinan Mahkamah Agung.”
Dijelaskan Ridwan, apabila diketahui dari hasil temuan atau laporan pengaduan Ketua MA diduga melanggar kode etik dan perilaku, seluruh pimpinan MA yang diketuai salah satu Wakil Ketua MA dibantu Kepala Badan Pengawasan akan memeriksa yang bersangkutan. “Tata cara pemeriksaannya sesuai Permamengenai penanganan pengaduan dan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran perilaku hakim dan aparat pengadilan,” jelasnya.
Semua hakim termasuk pimpinan MA harus melaporkan kepada atasan langsung (secara berjenjang) ketidakhadiran atau kepergiaannya (ke luar negeri) baik dalam rangka kedinasan maupun urusan pribadi disertai alasannya. Jika tidak, mereka bisa dikenakan sanksi sesuai tingkat kesalahannya apabila melanggar disiplin kerja tersebut. “Jadi, semua hakim termasuk pimpinan MA bisa dikenakan sanksi apabila melanggar. Kita menganut sistem pembinaan dan pengawasan secara berjenjang sesuai amanat reformasi birokrasi,” ujar Ridwan.
Menurutnya, tiga paket Perma Pengawasan ini tidak bisa dipisahkan karena semua bermuara pada peningkatan pengawasan internal maupun eksternal. Misalnya, Perma No. 9 Tahun 2016 memberi ruang semua elemen masyarakat untuk melaporkan segala bentuk penyimpangan aparatur peradilan termasuk hakim/hakim agung dengan beragam saluran pengaduan yang disediakan pengadilan, seperti SMS, email, telepon, meja pengaduan. “Masyarakat atau ‘orang dalam peradilan’ bisa melaporkan segala bentuk penyimpangan ‘tetangga sebelahnya’ (whisleblower),” katanya.
Momentum perbaikan
Dimintai pandangannya, Juru Bicara KY Farid Wajdi mengatakan serangkaian beberapa peristiwakasus suap oleh aparat peradilan memang layak dijadikan momentum perbaikan. Salah satu bentuk konkritnya lahirnya beberapa instrumen Perma Pengawasan tersebut. “Tentu saja, apresiasi dan ekspektasi besar layak diarahkan kepada MA baik pimpinan maupun jajaran di bawahnya. Sebab, bagaimanapun perubahan harus dimulai dari internal peradilan,” kata Farid.
Meski begitu, dia mengingatkan MA dan peradilan di bawahnya harus konsisten melaksanakan Perma Pengawasan ini. “Pelaksanaan Perma ini harus benar-benar dikawal dan dijaga karena masalah yang harus dibenahi dunia peradilan pun tidak sedikit. Jangan sampai pelaksanaanya kehilangan semangat ditengah jalan,” kata dia.
Baginya, yang paling utama dari seluruh upaya perubahan ini adalah perilaku baik yang patut dijadikan teladan dari seluruh elemen peradilan, khususnya dimulai para pimpinan atau pemegang kebijakan. “Jika perubahan signifikan dapat dimulai dari titik itu, maka teladan yang baik akan diikuti oleh semua unsur lainnya,” harapnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Ketua MA Hatta Ali tengah melakukan pembinaan sekaligus mensosialisasikan tiga paket Perma pengawasan di Pengadilan Tinggi Agama Banten. Acara ini dihadiri seluruh pimpinan pengadilan agama dan hakim agama di wilayah provinsi Banten. Agenda utama acara ini penandatanganan pakta integritas bagi hakim agama dan pegawai di lingkungan Pengadilan agama wilayah Banten.