Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang tindak pidana korporasi telah dilayangkan dari MA ke Kemenkum HAM untuk diundangkan. KPK berharap Perma tersebut menjadi standar bagi hakim di Pengadilan Tipikor mau pun hakim lain dalam menangani kasus yang melibatkan korporasi.
“Kita terima kasih pada Mahkamah Agung. Semoga ke depan jadi standar bagi semua hakim di seluruh pengadilan tipikor ataupun hakim lain yang menyidangkan kasus terkait korporasi,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Rabu (4/1/2017).
KPK menganggap Perma tersebut akan memperkuat KPK dalam menangani kasus yang melibatkan korporasi. “Dari aspek penindakan terbuka dan semakin kuat bagi KPK untuk menangani korporasi sebagai terdakwa sampai pada proses yang lebih lanjut,” jelasnya.
Sebagai informasi, dalam Perma itu dinyatakan korporasi melakukan kesalahan yang dapat dipidana, bilamana:
1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi.
2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Subjek hukumnya adalah korporasi dan pengurus korporasi. Perma tersebut memberikan beberapa tingkatan hukuman, yaitu:
1. Denda kepada korporasi.
2. Bila korporasi tidak membayar denda, maka asetnya dapat disita dan dirampas.
3. Denda kepada pengurus korporasi.
4. Bila pengurus korporasi tidak membayar denda maka diganti dengan kurungan penjara secara propoporsional.
Dalam Perma No 13 Tahun 2016 itu juga diatur seluruh proses eksekusi dijalankan sesuai KUHAP. Adapun untuk perampasan barang bukti, sesuai KUHAP, maka perampasan barang bukti dikelola Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). (Baca Juga: Presiden Jokowi Teken PP Pembangunan Perumahan Masyarakat)