Pengaturan bukti elektronik dan prosedur perolehannya dalam sistem peradilan pidana sangat diperlukan, hal ini karena, setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan bukti informasi dan elektronik
Putusan MK dinilai bakal mengubah kedudukan informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam penegakan hukum pidana. Dampaknya, seluruh informasi elektronik yang dapat dijadikan bukti mesti diperoleh berdasarkan prosedur, sebagaimana Pasal 31 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
“Di luar itu, maka informasi elektronik/dokumen elektronik tidak diperbolehkan sebagai bukti,” ujarnya. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono di Jakarta, Kamis (20/10).
Menurutnya, implikasi positif terhadap penegakan hukum di bidang penyadapan di Indonesia. Pasalnya, penyadapan dan rekamannya ketika dijadikan sebagai barang bukti mesti mengacu pada UU. Di sisi lain, kondisi tersebut mempersempit penggunaan informasi dokumen elektronik dalam penegakan hukum.
Supri menjelaskan, MK menyamakan pengertian intersepsi, penyadapan dengan perekaman. Penyadapan dan intersepsi dalam pertimbangan MK dinilai tepat. Namun dalam kondisi merekam atau perekaman informasi oleh individu, pertimbangan MK melampau situasi yang diharapkan penegakan hukum pidana.
Di banyak kasus pidana, seluruh dokumen elektronik dalam penegakan hukum pidana tak dapat digunakan sebagai bukti, maupun petunjuk. Dengan catatan sepanjang tidak memenuhi syarat sebagaimana putusan MK. Oleh sebab itu, penegak hukum ke depan mengalami tantangan dalam menyikapi putusan MK.
Menyikapi putusan MK No 20/PUU-XIV/2016, ICJR mengingatkan pemerintah agar mulai mempersiapkan UU bersifat khusus terkait penyadapan. Ia mengatakan perlunya UU Pengadapan sebagaimana diperintahkan oleh MK melalui putusan No 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011. (Baca Juga: Tafsir Terhadap Istilah ‘Teknis Yudisial’ Perlu Diperjelas)
Melalui UU Penyadapan, setidaknya bakal terbuka peluangan dalam memperbaiki kedudukan barang bukti elektronik dalam sistem peradilan pidana. Malahan, MK melalui putusan perkara No 20/PUU-XIV/2016 ini MK kembali mendorong agar pemerintah membuat regulasi khusus tentang penyadapan.
Ketika UU ITE yang kini sedang direvisi menempatkan kedudukan bukti elektronik sebagai barang bukti tanpa rumusan memadai akan menjadi persoalan. Padahal sistem peradilan pidana Indonesia telah memisahkan antara alat bukti dengan barang bukti. “Ketentuan mengenai alat bukti diatur berdasarkan Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa,” ujarnya.
Sementara ketentuan barang bukti diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Yakni, benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Kemudian, benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. Selain itu, benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana, danbenda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. Serta, benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Menurutnya pengaturan ulang kedudukan bukti elektronik, penggunaannya dalam sistem peradilan pidana bakal menyebabkan kekacauan dalam penegakan hukum. “Terutama untuk melindungi kepentingan tidak hanya tersangka/terdakwa namun juga untuk melindungi kepentingan korban kejahatan,” pungkasnya.