Badan Restorasi Gambut (BRG) merupakan lembaga non-struktural yang dibentuk berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2016 untuk melakukan restorasi ekosistem gambut seluas 2 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2016. Namun dalam pelaksanaan tugasnya, kewenangan BRG berhimpitan dengan rezim hukum kehutanan yang berada dalam wilayah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam kasus PT. Riau Andalan Pulp & Paper (PT. RAPP), BRG menemukan sejumlah bukti yang mengindikasikan adanya pelanggaran ketentuan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut). PT. RAPP diduga telah melakukan pembukaan kanal di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut, Myrna Safitri mengatakan “Temuan BRG berawal dari laporan masyarakat pada 10 Juni 2016. Seminggu kemudian, BRG menerjunkan tim yang terdiri dari tim teknis dan tim sosial. Dari situ Kepala BRG kemudian melakukan sidak, jadi sidak itu tidak tiba-tiba, dilakukan untuk memverifikasi temuan dari tim yang sudah diterjunkan sebelumnya.”
RAPP mengklaim dalam pemberitaan berbagai media, kegiatan yang dilakukan perusahaan adalah untuk membuat sekat bakar yang berfungsi untuk mengantisipasi kebakaran lahan. Sekat bakar berguna untuk menghentikan laju kebakaran, yakni apabila terjadi pada wilayah perkebunan yang dikelola oleh masyarakat, tidak akan merambat ke wilayah kerja perusahaan.
Menurut Myrna Safitri, masalah dari pembukaan kanal atau saluran drainase adalah menyebabkan lahan menjadi kering dan menurunkan muka air tanah. “Pembukaan kanal biasanya dilakukan untuk mempercepat pengeringan lahan gambut agar bisa dilakukan penanaman untuk tanaman-tanaman yang memerlukan lahan yang kering,” Dalam banyak kasus, pengeringan lahan gambut ini dilakukan agar kemudian bisa ditanami sawit.
Temuan BRG tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh KLHK, yakni dengan memberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan PT. RAPP. Walaupun dugaan pelanggaran yang dilakukan PT. RAPP mengancam restrorasi ekosistem gambut yang menjadi tugas BRG, namun yang berwenang memberikan sanksi administratif adalah KLHK karena kegiatan usaha PT. RAPP didasarkan atas izin usaha dan izin lingkungan yang dikeluarkan oleh KLHK.
Menurut Pasal 27 PP Gambut, untuk menanggulangi kerusakan ekosistem gambut di dalam dan di luar wilayah kerja perusahaan akibat terjadinya kebakaran, pembukaan lahan, dan pembangunan drainase yang menyebabkan lahan gambut menjadi kering, maka penanggung jawab usaha lah yang wajib melakukan penanggulangan sesuai kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan.
Menurut Pakar Hukum Administrasi Lingkungan Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf kepada Hukumonline pada Selasa (13/9), “Lokasi fisik lahan gambut itu bisa berada di atas tanah Negara, tanah masyarakat, dan tanah yang dikelola oleh swasta. Artinya lahan yang dikelola swasta tidak bisa dikecualikan dari pelaksanaan fungsi lindung dan kepentingan perlindungan ekosistem.”
Asep Warlan menjelaskan bahwa selain aspek fisik, terdapat empat aspek lain yang mesti dilihat dalam melakukan restorasi lahan gambut. “Perlu dipertimbangkan juga aspek sumber daya ekonominya, yakni pembebanan terhadap perusahaan juga disertai dengan insentif. Jadi pengelolaan secara berkelanjutan di atas lahan gambut itu juga dianggap menguntungkan bagi perusahaan.”
“Selain itu, perlu juga diperhatikan hak-hak masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk dilibatkan, karena bencana dari kerusakan ekosistem gambut akan langsung berdampak pada masyarakat,” kata Asep. Kegiatan usaha di atas lahan gambut juga mengharuskan adanya izin kegiatan dan pemanfaatannya, yang dikeluarkan oleh lembaga sektoral terkait.
Namun masalah terbesar dari sisi hukum administrasi dalam pelaksanaan restorasi gambut menurut Asep Warlan adalah permasalahan tumpang tindih kewenangan. “Kewenangan ini dimiliki oleh beberapa lembaga Negara, yakni BRG, KLHK dan pemerintah daerah yang turut menerbitkan izin usaha dan izin lingkungannya. Harus dipastikan dalam setiap kasus, kewenangan itu ada dimana, siapa yang berwenang sebagai pusat koordinasi. Permasalahan kewenangan ini penting untuk melihat siapa yang seharusnya bertugas mengawasi dan apakah penegakan hukumnya berjalan melalui penerapan sanksi yang tegas bagi siapapun pihak yang melanggarnya,” kata Asep.
Menurut Asep, BRG tidak hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran, tetapi juga bertugas untuk mendesain perencanaan restorasi gambut yang bertanggung jawab kepada Presiden. “Rekomendasi BRG sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh KLHK dan Pemerintah Daerah yang mengeluarkan izinnya. Atas rekomendasi dari BRG, Presiden dan Kementerian terkait dapat memberikan sanksi kepada Pemda. Namun terhadap Kementerian terkait yang mengabaikan rekomendasi dari BRG, tidak bisa diterapkan sanksi. Tetapi BRG bisa memberikan laporannya kepada Presiden, untuk kemudian menerapkan sanksi berupa teguran tertulis atau bisa dengan memainkan skema anggaran dari Kementerian yang bersangkutan,” terang Asep.
Yang perlu diperbaiki antara kewenangan yang dimiliki BRG dengan kewenangan penegakkan hukum yang dimiliki oleh KLHK (untuk penegakkan hukum administratif dan aspek hukum perdata) serta Kepolisian dan Kejaksaan (untuk penegakkan hukum pidana) adalah koordinasi. Menurut Asep, “Koordinasi ini berupa koordinasi struktural yakni dengan instruksi langsung dari Presiden, koordinasi fungsional yang mengembalikan lagi kepada fungsi masing-masing lembaga, dan koordinasi yang sifatnya teknis dengan membuka kanal informasi antar lembaga.”
Terhadap kasus PT. RAPP, langkah selanjutnya yang akan ditempuh oleh BRG adalah dengan menerjunkan kembali tim teknis dan tim sosial. “Tim teknis akan memverifikasi apakah yang dilakukan itu benar untuk sekat bakar atau untuk membuat kanal-kanal atau saluran drainase. Yang kedua, Tim teknis juga akan memverifikasi kedalaman gambutnya. Selain itu juga akan diterjunkan tim sosial untuk melihat overlapping klaimnya. Karena ada wilayah yang masih berkonflik,” kata Myrna.