Tragedi pembunuhan dan penangkapan massal terhadap terhadap orang yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 telah 51 tahun berlalu. Namun sampai saat ini para korban dan keluarganya belum mendapat keadilan, hak-hak mereka yang selama ini dirampas belum dipulihkan secara nyata. Begitu yang diungkapkan salah satu korban 1965, Bedjo Untung, dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Rabu (21/09).
Bedjo mengatakan sudah berulang kali pemerintahan berganti, mulai dari Presiden Soeharto sampai Joko Widodo, tapi korban 1965 nasibnya tak berubah. Dia menilai sampai saat ini belum ada langkah progresif yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diantaranya tragedi 1965. Hal itu yang membuat nasib korban dan keluarganya jalan ditempat.
Sudah ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus 1965 baik yudisial dan non yudisial. Langkah yudisial telah dilakukan Komnas HAM dengan melakukan penyelidikan. Namun hasil penyelidikan itu tak kunjung ditindaklanjuti Kejaksaan Agung, terjadi bolak-balik berkas antar kedua lembaga itu.
Pemerintah juga sudah menggagas penyelesaian kasus 1965 lewat jalur non yudisial diantaranya mendorong terselenggaranya Simposium 1965 di Jakarta “pada pertengahan April 2016. Bedjo menyayangkan sampai saat pemerintah belum mengumumkan hasil simposium itu. Padahal hasil kegiatan itu akan direkomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan peristiwa 1965.
Melihat kedua mekanisme yang sudah ditempuh itu Bedjo menilai pemerintah semakin tidak jelas menentukan arah penyelesaian tragedi 1965. Padahal dalam Nawacita yang diusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla, mereka berjanji menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini menjadi beban sejarah. “Janji yang tertulis dalam nawacita itu sampai sekarang belum terealisasi,” katanya.
Untuk mendorong penyelesaian kasus 1965 agar mampu menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarganya, Bedjo mengusulkan agar pemerintah menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, Mahkamah Agung, DPR/MPR untuk merehabilitasi umum para korban. Untuk rehabilitasi dan kompensasi, Bedjo mendorong agar proses yustisia terus berjalan.
Komnas HAM dituntut untuk menindaklanjuti temuan yang dihadirkan para pihak dalam persidangan IPT 65. Bedjo mengatakan dalam sidang IPT itu ada bukti terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan kuburan massal, bahkan diduga terjadi genosida. “YPKP mencatat sedikitnya ada 122 titik kuburan massal yang tersebar di Sumatera dan Jawa,” ungkap Bedjo.
Selain itu, pemerintah perlu mengundang pelapor khusus Dewan HAM PBB ke Indonesia sebagai upaya memecah kebuntuan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu diantaranya kasus 1965. “Sebagai jawaban atas keridakmauan dan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM melalui jalur hukum di dalam negeri,” ujarnya.
Anggota Sahabat IPT 65, Harry Wibowo, menyebut dua hal yang akan dituntut korban dan keluarganya. Pertama, pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan harus mengumumkan hasil Simposium 1965. Kedua, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung harus membuat pernyataan tertulis mengenai penyebab mandeknya proses yustisia kasus 1965.
Selanjutnya, mendesak pemerintah mengundang pelapor khusus Dewan HAM PBB bidang promosi kebenaran, keadilan, reparasi dan menjamin pelanggaran HAM berat serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari, Pablo de Greiff. Pelapor khusus itu nanti diharapkan melakukan investigasi mandeknya upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang dilakukan pemerintah Indonesia. Kemudian, merekomendasikan kepada pemerintah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran berat yang ada.
Menurut Harry, memanggil pelapor khusus itu merupakan bagian dari skema penyelesaian pelanggaran HAM internasional. Khususnya ketika pemerintah mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. “Penyelesaian kasus 1965 mentok, makanya ini perlu dilaporkan ke pelapor khusus PBB,” katanya.
Sekretariat Umum Forum 1965, Wara Aninditari, mengusulkan Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden yang intinya membentuk Komite Kepresidenan untuk menyelesaikan kasus 1965. Menurutnya cara itu bisa digunakan untuk memastikan proses penyelesaian tragedi 1965 berjalan sesuai harapan baik yudisial dan non yudisial. “Komite itu bisa mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung agar tidak mandek dalam menindaklanjuti perkara 1965,” ujarnya.