Kritikan terhadap program reforma agraria yang dicanangkan pemeritah mulai bermunculan. Program reforma agraria dinilai akan gagal lantaran dihinggapi oleh benalu. Salah satu kritikan datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang menilai program reforma agraria ini akan gagal lantaran dihinggapi penumpang gelap.
“Saya membayangkan kemungkinan besar reforma agraria akan gagal. Dan kegagalannya itu bukan karena tanahnya tidah teredistribusi, tetapi karena banyaknya penumpang gelap,” kata Manajer Kampanye dan Jaringan WALHI, Khalisah Khalid
Salah satu indikasi tersebut, lanjut Khalisah, lantaran kurang transparansinya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengenai peta indikatif yang menunjukkan di mana objek tanah unuk reforma agraria. “Padahal hal ini penting untuk keterbukaan informasi publik. Penumpang gelap dalam reforma agraria justru lebih mengkhawatirkan daripada redistribusi tanah berjalan atau tidak,” ujarnya.
Celah penumpang gelap dalam program reforma agraria tak sedikit. Salah satunya adalah keinginan pemerintah untuk mengaitkan reforma agraria dengan proyek-proyek infrastruktur. “Juga korporasi-korporasi yang mengincar tanah yang diperuntukkan sebagai objek reforma agraria, justru ingin mengubahnya menjadi lahan perkebunan (melalui skema pelepasan kawasan hutan),” tutur Khalisah.
Dalam program ini terdapat Tanah untuk Objek Reforma Agraria (TORA) yang dicanangkan pemerintah adalah seluas 9 juta hektar yang terdiri 4,5 juta hektar untuk legalisasi aset dan 4,5 juta untuk redistribusi lahan. Legalisasi aset terdiri dari 0,6 juta hektar tanah transmigrasi yang belum bersertifikat dan 3,9 juta hektar tanah untuk legalisasi aset masyarakat. Sedangkan untuk redistribusi lahan, terdiri dari 0,4 juta hektar tanah terlantar dan 4,1 juta hektar tanah pelepasan kawasan hutan.
Dari skema TORA yang diperuntukkan untuk redistribusi lahan, angka yang siginifikan justru didapat dari pelepasan kawasan hutan, yakni sebesar 4,1 juta hektar. Sedangkan TORA yang didapatkan dari tanah-tanah terlantar hanya sebesar 0,4 juta hektar. Artinya, redistribusi lahan yang menjadi kejaran target reforma agraria oleh pemerintah saat ini masih sangat bergantung pada pelepasan status kawasan hutan, yang kewenangannya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Senada, Wakil Sekjen Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (Seknas KPA), Dewi Kartika juga mengkhawatirkan penyimpangan karena ketidaksesuaian objek dan subjek reforma agraria. Misalnya, ketidaksesuaian objek dan subjek reforma agraria yang berasal dari pelepasan kawasan hutan.
“Di Kalimantan Barat ditargetkan ada lebih dari 130.000 hektar lahan yang akan diperuntukkan sebagai TORA yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. KLHK mengklaim ada 15 titik yang menjadi TORA yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Setelah dicek ke lapangan, ternyata 14 titik dari yang diklaim sebagai objek reforma agraria itu bersinggungan dengan HTI (Hutan Tanaman Industri). Kami mensinyalir, TORA ini diusulkan oleh Pemda untuk kebutuhan melakukan ekspansi sawit di Kalimantan Barat,” tuturnya.
Menurutnya, penumpang gelap dalam agenda reforma agraria tidak hanya terkait dengan penyimpangan objek reforma agraria. Tapi juga terkait konsep “bank tanah” yang ditawarkan oleh Bappenas dalam skema reforma agraria. “Bappenas mencoba menawarkan konsep “bank tanah” dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sementara reforma agraria kan pengadaan tanah untuk rakyat petani yang land-less, bukan pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum,” katanya.
Ia menjelaskan konsep “bank tanah” yang ditawarkan oleh Bappenas yang hendak dimasukkan ke dalam skema reforma agraria erat dengan pelaksanaan proyek infrastruktur strategis. “Pemerintah kan membutuhkan tanah dalam jumlah yang besar untuk melaksanakan proyek-proyek infrastruktur strategis, misalnya pembangunan bandara, jalan tol, pembangunan waduk, pembangkit tenaga listrik, dll. Bank Tanah ini lah yang akan mengumpulkan tanah-tanah dalam jumlah besar yang sewaktu-waktu nanti bisa dipakai untuk pembangunan proyek-proyek strategis di berbagai sektor,” katanya.
Khalisah menambahkan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum itu bukan objek reforma agraria. Namun, hal ini justru akan membuat orang semakin kehilangan tanah. Memuluskan proyek infrastruktur berskala besar ke dalam skema reforma agraria, justru akan membuat agenda reforma agraria itu sendiri akan gagal. (Baca Juga: SEMA Disinggung JPU dalam Sidang Pembunuhan Berencana)
Senada dengan itu, kritikan juga dilontarkan oleh Pakar Hukum Agraria UI, Suparjo Sujadi. Ia menilai bahwa agenda reforma agraria selama ini selalu dibenturkan dengan target pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. “Reforma agraria dimaksudkan untuk menyentuh ekonomi pertanian dan ekonomi kerakyatan secara riil. Namun yang dilihat oleh pemerintah adalah laju produktifitas pertanian ini kalah jauh dengan laju percepatan pertumbuhan ekonomi dan industri,” katanya.
Suparjo menilai, memasukkan proyek-proyek pengadaan infrastruktur ke dalam agenda reforma agraria adalah sebuah bentuk ketidakpahaman pemerintah atas konsep reforma agraria. Ia khawatir, tatanan ideal sebagai cita-cita land reform dengan redistribusi tanah, khususnya pada sektor pertanian malah tidak tercapai.
“Program apapun pada akhirnya non-sense, jika konsep dasarnya tidak dipahami, akhirnya justru jadi clash program,” tuturnya.
Seharusnya, tambah Khalisah, pemerintah jangan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang hanya memfasilitasi investasi saja. Tapi juga menciptakan keadilan. “Pemerintah seharusnya memformulasikan cara bagaimana pembangunan itu berkeadilan secara ekonomi dan secara ekologi. Pemulihan lingkungan sebagai dampak untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali itu justru biayanya jauh lebih besar, bahkan mengancam generasi yang akan datang, kerugiannya akan sulit diukur hanya dengan valuasi ekonomi,” tegasnya.
Menurutnya, reforma agraria sebenarnya tidak hanya bicara tentang tata kuasa (terkait dengan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah), tetapi juga tata produksi dan tata konsumsi. Tetapi selama ini, persoalan agraria masih berkutat pada konflik agraria yang bersifat represif terhadap petani.
“Setelah melaksanakan redistribusi tanah, seharusnya pemerintah hadir untuk memberikan insentif agar petani bisa produktif, dan memproteksi dari berbagai ancaman yang hendak mengokupasi lahan pertanian untuk kepentingan investasi skala besar,” tutupnya.