Persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang diwarnai dengan perdebatan sengit. Fraksi Partai Gerindra dan PKS adalah dua fraksi yang kekeuh menolak pengesahan Perppu yang akrab disebut Perppu Kebiri itu menjadi UU. Namun akhirnya, PKS dapat menyetujui dengan beberapa catatan.
Beberapa catatan yang diutarakan Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis antara lain; pertama, masih terdapat banyak kekurangan dalam Perppu yang harus dilengkapi. Itu sebabnya, setelah disahkan menjadi UU, maka perlu dilakukan revisi teranyar.
“Kami menganggap pengesahan Perppu ini ibarat Handphone, dengan casing bagus, tapi isinya kropos karena masih ada beberapa kekurangan, walaupun secara wacana menginginkan pemberatan hukuman bagi pelaku,” ujarnya, Jumat (14/10).
Dalam rangka menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih dapat dilakukan pemerintah daripada menerbitkan Perppu. Misalnya, dengan merujuk pada persebaran data kekerasan seksual yang terdapat di wilayah Indonesia.
Perppu Kebiri mengesankan pemerintah tergopoh-gopoh lantaran desakan opini publik. Padahal, penyebab orang melakukan kejahatan bukan semata hasrat libido yang tinggi, namun faktor mental dan psikologi seseorang. (Baca Juga: Permendagri Telah Disahkan, Begini Ketetapannya)
Kedua, terbitnya Perppu Kebiri menjadi UU mesti dijadikan pintu masuk melakukan revisi terhadap UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi lebih sempurna. Namun, tak semata memberikan pemberatan hukuman terhadap pelaku kekerasan anak di bawah umur. Tujuannya itu tadi, perlindungan lebih luas terhadap perempuan dan anak.
“Sehingga, pada prinsipnya PKS sangat konsen melindungi perempuan dan anak, namun harus diatur dengan regulasi yang komprehensif,” ujarnya.
Ketiga, agar penyusunan UU Perlindungan Anak menjadi lebih komprehensif maka pemberatan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual mesti memperhatikan masa depan anak. Bukan sebaliknya hanya memprioritaskan pemberantasan ancaman pidana. Hal lainnya, terhadap masa depan anak yang menjadi korban akibat trauma perlu diatur mekanisme rehabilitasi.
“Bagaimana peran pemerintah daerah untuk lebih ditingkatkan melindungi anak dan perempuan, meningkatkan sensitivitas penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, dan yang terpenting faktor pemicu minuman beralkohol dan pornografi, harus dihapuskan,” tandasnya.
Sementara, aliansi 99 yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam rilisnya menilai Perppu diterbitkan lantaran adanya kegentingan memaksa. Selain itu, Perppu harus dikaji secara matang dengan pendekatan yang multidisipliner. Sayangnya, pemerintah belum dapat menunjukan ke publik perihal adanya kegentingan yang terjadi pada anak-anak yang mengalami kekerasan seksual.
Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Menurut aliansi, bila mengacu rumusan tersebut, Perppu merupakan suatu peraturan pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang.
“Dengan demikian Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” ujar aliansi.
Selain itu, aliansi berpandangan Perppu tersebut tidak memberikan perlindungan konprehensif terhadap anak-anak. Pasalnya, dalam Perppu tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur anak-anak yang menjadi korban. Pemerintah pun dinilai terburu-buru dalam menerbitkan Perppu tanpa meminta masukan dari kalangan masyarakat. Sebab, Perppu tersebut masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat.
Terkait dengan penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, justru mengalihkan tujuan rehabilitasi terhadap pelaku menjadi tidak tercapai, termasuk korban. Termasuk hukuman kebiri kimia bagi pelaku. Menurut aliansi, beberapa ahli kesehatan telah menyampaikan pendapat mengenai penerapan hukuman kebiri ini, yang mana memberikan dampak negatif bagi tubuh pengguna suntikan kimia tersebut.
“DPR seharusnya tidak mempermudah pengesahan PERPPU yang terkesan diobral oleh Pemerintah,” pungkas aliansi.