Mahkamah Agung (MA) belum lama ini menerbitkan Peraturan MA (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi. Perma ini diteken (disahkan) Ketua MA M. Hatta Ali pada 21 Desember 2016 dan baru diundangkan pada 29 Desember 2016. Perma ini sebagai pedoman aparat penegak hukum dan mengisi kekosongan hukum terkait prosedur penanganan kejahatan tertentu yang dilakukan korporasi dan atau pengurusnya.
Selama ini berbagai Undang-Undang (UU) tertentu telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana lantaran merugikan negara dan atau masyarakat. Namun, sangat minim diproses ke pengadilan lantaran belum ada hukum acara prosedur penyidikan, penuntutan hingga sidang pengadilan khususnya dalam merumuskan surat dakwaan bagi entitas korporasi.
Perma Pidana Korporasi ini berisi rumusan kriteria kesalahan korporasi yang dapat disebut melakukan tindak pidana; siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi; tata cara pemeriksaan (penyidikan-penuntutan) korporasi dan atau pengurus korporasi; tata cara persidangan korporasi; jenis pemidanaan korporasi; putusan; dan pelaksanaan putusan.
Dalam hal kriteria kesalahan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tertentu atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kedua, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, korporasi tidak mengambil langkah-langkah pencegahan atau mencegah dampak lebih besar dan memastikan kepatuhan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
“Dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya pertanggungjawaban (pidana) korporasi,” demikian bunyi Pasal 5 Perma Pidana Korporasi.
Perma ini tidak hanya mengatur pertanggungjawaban pidana yang dilakukan satu korporasi atas dasar hubungan kerja atau hubungan lain, tetapi juga dapat menjerat grup korporasi dan korporasi dalam penggabungan (merger), peleburan (akuisisi), pemisahan, dan akan proses bubar. Namun, korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana.
“Tetapi, terhadap aset milik korporasi (yang bubar ini) diduga digunakan melakukan kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan, maka penegakkan hukumnya dilaksanakan sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan.”
Perma ini menentukan pemeriksaan korporasi dan atau pengurusnya sebagai tersangka dalam proses penyidikan dan penuntutan baik sendiri ataupun bersama-sama setelah dilakukan proses (surat) pemanggilan. Surat panggilan ini memuat : nama Korporasi; tempat kedudukan; kebangsaan korporasi; status korporasi dalam perkara pidana (saksi/ tersangka/terdakwa); waktu dan tempat pemeriksaan; dan ringkasan dugaan peristiwa pidana.
Pasal 12 Perma mengatur bentuk surat dakwaan yang sebagian merujuk Pasal 143 ayat (2) KUHAP dengan penyesuaian isi surat dakwaan memuat: nama Korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan korporasi, jenis korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili. Selain itu, memuat uraian secara cermat, jelas, lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Sistem pembuktian penanganan tindak pidana korporasi ini masih mengacu KUHAP dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang lain. Seperti halnya keterangan terdakwa, keterangan korporasi merupakan alat bukti sah dalam persidangan. Sementara penjatuhan pidana korporasi yakni pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan sesuai UU yang berlaku, seperti uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
Apabila tidak sanggup dibayar, harta kekayaan korporasi disita dan dilelang oleh Jaksa untuk menutupi besaran pidana denda, uang penggati, ganti rugi dan atau restitusi (gugatan perdata oleh korban) yang diputus pengadilan. Pidana denda ini bisa dikonversi menjadi pidana kurungan secara proporsional setelah pengurusnya selesai menjalani pidana pokoknya (penjara).
Untuk diketahui, ada sekitar 70 UU yang menjerat pertanggungjawaban pidana korporasi, tetapi minim diproses dan diputus hingga ke pengadilan. Seperti kejahatan pencurian ikan, pembalakan liar, pembakaran hutan, tindak pidana korupsi, pengrusakan lingkungan, pencucian uang yang dilakukan korporasi. Sebab, KUHAP sendiri belum menentukan petunjuk teknis penyusunan surat dakwaan ketika subjek hukum pelakunya korporasi.
Praktiknya, penyidik dan penuntut umum enggan atau tidak berani melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan lantaran kesulitan menyusun dan merumuskan surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi. Pengadilan pun ketika mengadili perkara kejahatan korporasi sangat bergantung surat dakwaan yang diajukan penuntut umum.
KPK sendiri sebagai salah satu lembaga yang berkepentingan belum pernah menjadikan korporasi sebagai subjek atau tersangka/terdakwa korupsi. Padahal, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) telah memberi instrumen untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Meski direksi perseroan sudah banyak yang menjadi terpidana, tetapi selama ini KPK terkendala merumuskan bagaimana tanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
KPK dan Kejaksaan sendiri pernah mencoba menuntut korporasi turut serta membayar kerugian negara, tetapi kerap gagal lantaran hakim menganggap korporasi dimaksud tidak dijadikan terdakwa dalam dakwaan. Hanya ada satu kasus korupsi korporasi yang berhasil diseret ke persidangan yakni kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT Giri dihukum membayar Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan.
(Baca Juga: BPS: Penurunan Tarif Listrik Tak Pengaruhi Inflasi di Awal 2017)