Amburadulnya pengelolaan perkebunan sawit disebabkan banyak faktor. Konflik tenurial perusahaan dengan masyarakat, misalnya, bisa disebabkan karena ketidakjelasan batas-batas Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang diberikan Pemerintah. Ironisnya, data HGU perkebunan sawit pun seolah tak bisa diakses publik.
Pengalaman tak mengenakkan itu dialami antara lain Forest Watch Indonesia (FWI). Lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi isu-isu kehutanan ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan data HGU perkebunan sawit. Padahal, FWI ingin berkontribusi memberikan masukan kepada Pemerintah yang saat ini ingin menata perkebunan sawit melalui moratorium. FWI ingin melakukan kajian pemanfaatan lahan dan hutan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menolak memberikan informasi HGU perkebunan yang diminta FWI. FWI sudah mencoba menggunakan mekanisme legal yang diatur UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta peraturan pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010. Setelah melalui serangkaian sidang, majelis Komisi Informasi Pusat (KIP) menyatakan informasi yang diminta FWI sebagai informasi yang bersifat terbuka. Artinya, termohon Kementerian ATR/BPN harus menyerahkan informasi yang diminta.
Tetapi Kementerian ATR/BPN menganggap HGU perkebunan sawit sebagai informasi rahasia. Itu pula sebabnya institusi Pemerintah ini mengajukan keberatan ke PTUN Jakarta, 9 Agustus lalu, sesuai mekanisme yang diatur UU No. 14 Tahun 2008.
Linda Rosalina, pengkampanye FWI menyayangkan langkah keberatan Kementerian ATR/BPN karena akan menyebabkan kajian FWI tanpa didukung dokumen yang sah dan terverifikasi. “Kami kesulitan melakukan verifikasi tanpa adanya dokumen sah (resmi) dari pemerintah. Padahal kami menemukan adanya tumpang tindih perizinan yang menyebabkan kehancuran sumber daya hutan, konflik tenurial antara perusahaan dengan masyarakat, hingga terjadinya ancaman keberlanjutan hidup masyarakat adat dan lokal,” tegasnya.
Menurut Linda, langkah keberatan itu menandakan tidak ada kemauan terbuka untuk memberi ruang berpartisipasi bagi publik dalam pengawasan pembangunan di sektor perkebunan. Padahal pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan evaluasi terhadap kinerja perkebunan kelapa sawit melalui usulan kebijakan moratorium. Hal ini sejalan dengan upaya Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyelesaikan penguasaan tanah masyarakat dalam kawasan hutan.
Kesulitan mengakses informasi HGU juga dialami Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Kanwil BPN setempat menolak memberikan data yang diminta. Ki Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, mengecam ketertutupan BPN karena menganggap setiap dokumen perizinan dan syarat perizinan adalah dokumen terbuka. “Dokumen HGU sebagai syarat perizinan sejatinya terbuka untuk publik. Apalagi kenyataannya di lapangan banyak terjadi tumpang tindih antara HGU dan konsesi pertambangan. Bahkan terdapat perusahaan sawit yang melakukan kegiatan pertambangan di wilayah HGU-nya,” kata dia.
Senada, Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Timur, menyebutkan konflik di perkebunan kelapa sawit terjadi sejak proses perizinan tidak transparan. Konflik terpanjang diakibatkan alih fungsi lahan pertanian produktif (sawah danladang) menjadi perkebunan monokultur. Selain berdampak panjang terhadap ekosistem alam dan keberlanjutan pangan, tidak sedikit yang telah menjadi buruh di kampung sendiri. “Dipaksa oleh izin yang diterbitkan tanpa pelibatan masyarakat secara partisipatif. Tren ini terus meluas di hampir 1 juta hektare konsesi perkebunan sawit yang existing di Provinsi Kalimantan Timur”, ujar Fathur.
Linda, Ki Bagus, dan Fathur mendesak Kementerian ATR/BPN dan jajaran di bawahnya untuk lebih transparan. Jika informasi yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam terus ditutup, ruang partisipasi publik untuk kebijakan terkait akan kian sempit. Akibatnya, potensi konflik masyarakat dengan perkebunan akan tetap ada.