Pemerintah menganggap syarat calon hakim agung (CHA) baik dari jalur karier maupun nonkarier bukan persoalan konstitusionalitas norma Undang-Undang, melainkan kebijakan terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang.
Jadi, bagi Pemerintah, tidak ada persoalan diskriminasi dalam pengaturan persyaratan CHA. Demikian pula periodeisasi masa jabatan pimpinan MA dan MK dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah menjelaskan pengalaman bidang hukum selama 20 atau 25 tahun, batasan usia 45 atau 55 tahun, batasan pendidikan S-2 atau S-3, dan batasan pengalaman hakim tinggi 3 tahun atau nol tahun bukan masalah konstitusional. “Tetapi open legal policy dalam UU MA,” ujar Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy dalam sidang lanjutan uji materi UU MA dan UU MK di ruang sidang MK, Senin (22/8).
Yunan menegaskan tafsir Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 tidak terbatas pada hakim karier, tetapi dari seluruh elemen masyarakat masyarakat (nonkarier) sepanjang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditentukan Undang-Undang. Lagipula, ‘pengalaman’ yang disyaratkan UUD 1945 adalah pengalaman bidang hukum atau profesi/akademisi hukum, bukan pengalaman sebagai hakim.
“Memaknai usia 45 menjadi 55 tahun proses penghilangan logika. Tidak bisa dari 45 tahun menjadi 55 tahun. Ini perubahan pasal yang bukan kewenangan MK karena pemohon spesifik meminta perubahan pasal atau menambahkan norma baru,” kata Yunan melanjutkan.
Dia membantah anggapan pasal-pasal yang diuji mengandung unsur diskriminasi. Perbedaan persyaratan CHA nonkarier baik pengalaman maupun tingkat pendidikan bukanlah tindakan diskriminasi. Hal ini masalah pembinaan karier hakim di MA.
Dari berbagai literatur diskriminasi diartikan kebijakan didasarkan perbedaan ras, agama, suku, antargolongan, atau keberpihakan terhadap kelompok yang lebih kuat ketimbang yang lemah. Menurut Pemerintah, dikotomi hakim karier dan nonkarier dalam seleksi CHA bisa dimaknai hakim karier sebagai kelompok powerfull ketimbang nonkarier, sehingga sangat logis memberi kemudahan syarat calon nonkarier untuk mendorong keikutsertaan mereka. “Jadi, tidak ada hubungan antara kegagalan pemohon dalam seleksi CHA dengan kemudahan CHA dari jalur nonkarier, sehingga permohonan ini tidak relevan,” tegas Yunan.
Putusan-putusan MK terdahulu yang mengabulkan permohonan memaknai frasa atau kata terbatas yang tidak menghilangkan makna awal. Namun, permohonan pemohon tidak terbatas memaknai frasa atau kata, tetapi menambah makna baru yang menghilangkan makna awal yang melampaui kewenangan MK. “Tepat, jika permohonan ini tidak dapat diterima,” harapnya.
Soal masa jabatan atau pensiun hakim MK sekaligus masa jabatan pimpinan MK, lanjutnya, tidak diatur dalam konstitusi, sehingga menjadi open legal policy pembentuk UU. Menurutnya, perbedaan kelembagaan dan karakteristik jabatan hakim agung dan hakim konstitusi sebagai konsekwensi logis.
“Perbedaan ini dapat disamakan dengan cara mengharmonisasi UU masing-masing, bukan berdasar kajian diskriminasi atau pertentangan norma UUD 1945. Karena itu, permohonan ini harus ditolak seluruhnya,” harapnya.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1-4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK terkait syarat usia, pengalaman, ijazah minimal calon hakim agung dan calon hakim MK, dan periodisasi masa jabatan pimpinan MA dan MK.
Menurutnya ada persoalan diskriminasi persyaratan CHA karier dan nonkarier. Jika dibandingkan syarat CHA nonkarier tidak sebanding karena CHA nonkarier cukup syarat berpendidikan doktor dan pengalaman bidang hukum 20 tahun. Dia berharap syarat CHA bisa mempermudah hakim karier dan memperketat syarat CHA nonkarier.
Misalnya, hakim agung nonkarier diperlukan jika dibutuhkan memiliki keahlian khusus, syarat usia dinaikkan dari 45 menjadi 55 tahun, berstatus guru besar/profesor dengan gelar doktor hukum, syarat pengalaman dinaikkan dari 20 tahun menjadi 25 tahun. Untuk hakim karier, ada persamaan syarat usia dan pengalaman 20 tahun menjadi hakim termasuk hakim tinggi termasuk menyamakan masa jabatan pimpinan MK dan MA.