Maraknya peristiwa yang melibatkan warga negara Cina di Tanah Air dinilai dapat membuat Pemerintah Indonesia memperhatikan kembali kebijakan bebas visa yang telah diberlakukan. Pasalnya, kebijakan tersebut menimbulkan celah bagi warga negara asing untuk bertindak di luar hukum dan peraturan hukum Indonesia.
Misalnya saja pengibaran bendera Republik Rakyat Cina (RRC) di Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara, beberapa waktu lalu. Yang terbaru yakni kasus empat petani Cina yang menanam cabai berbakteri di Bogor, Jawa Barat.
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengatakan, harus ada tindakan lebih lanjut terkait kebijakan bebas visa terhadap warga negara asing, tidak hanya terhadap Cina, tetapi juga negara lainnya.
“Bukan dievaluasi, tapi dicabut regulasi itu. Setelah dicabut, baru dievaluasi,” kata dia, Senin (19/12).
Dia menyebutkan, kebijakan bebas visa yang saat ini diberlakukan di Indonesia tidak diikuti kesiapan aparatur dalam menghadapi dan menyeleksi warga asing yang masuk ke Indonesia. Pencabutan kebijakan tersebut, kata dia, sebaiknya tidak hanya berlaku bagi warga negara Cina, tetapi juga warga negara asing lainnya.
“Lalu, dalam waktu sebulan dievaluasi sekaligus diterbitkan regulasi baru yang mampu menjaga kedaulatan dan martabat republik ini,” ujar politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Regulasi bebas visa membuat warga negara asing datang dari berbagai pintu masuk di Indonesia. Sayangnya, kemudahan tersebut dapat memudahkan akses bagi para oknum dari mancanegara untuk melakukan kejahatan di Tanah Air. Saat ini, jumlah negara yang mendapatkan pemberlakukan bebas visa kunjungan dari Indonesia dinilai terlalu banyak, yaitu 169 negara. Kebijakan tersebut justru dinilai berdampak kurang sehat bagi keamanan Indonesia.
Sejak menjabat 2014, tercatat tiga kali Presiden Joko Widodo melansir peraturan presiden (perpres) yang berkaitan dengan bebas visa kunjungan. Pertama, Perpres Nomor 69/2015 tentang Bebas Visa Kunjungan (45 negara) pada 9 Juni 2016. Kemudian, Perpres Nomor 104/2015 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 69/2015 (75 negara). Terbaru, Perpres Nomor 21/2016 (169 negara) tertanggal 2 Maret 2016. Alasan di balik kebijakan tersebut, menurut Presiden, adalah untuk meningkatkan devisa melalui pariwisata.
Dalam kesempatan lain, Wakil Ketua MPR Mahyudin meminta pemerintah serius menangani beredarnya bibit cabai berbakteri dari Cina. Bakteri yang merupakan media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) itu berasal dari benih cabai ilegal.
Bakteri tersebut merupakan OPTK A1 Golongan 1 (belum ada di Indonesia) dan tidak dapat diberikan perlakuan apa pun selain eradikasi/pemusnahan. ”Pemerintah harus memperketat pengawasan bibit yang masuk ke Indonesia. Tujuan kita swasembada pangan, tapi kalau bakteri dan virus yang masuk, kita malah celaka,” kata Mahyudin, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (19/12).
Ia menambahkan, saat ini ada juga bibit padi yang diimpor oleh Kementerian Pertanian yang mengandung bakteri. Bila informasi itu benar, pemerintah harus serius menangani bibit bakteri ini.
Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto memastikan, keempat petani ilegal asal Cina yang tertangkap akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Mereka tidak akan dilepas karena diduga melanggar UU Keimigrasian dan diduga menanam tanaman ilegal.
Hal itu disampaikan Wiranto seusai menerima kunjungan Duta Besar Cina untuk Indonesia Xie Feng di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, pekan lalu. Dalam pertemuan tersebut Wiranto menerima jaminan bahwa Pemerintah Cina akan menghormati proses hukum di Indonesia.