Paket Reformasi di bidang hukum yang disiapkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bertujuan membuat pondasi kokoh bagi pembangunan melalui hukum yang memberikan jaminan keadilan. Namun ada tiga hal hal yang mesti diperhatikan dalam paket reformasi hukum. Khususnya, persoalan hukuman mati.
Demikian disampaikan Direktur Ekesekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W Eddyono di Jakarta. “Banyaknya problem sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya terkait kasus-kasus pidana mati, maka ICJR menilai bahwa sudah tepat apabila isu pidana mati menjadi salah satu langkah awal dari paket reformasi bidang hukum Presiden Jokowi,” ujarnya seperti yang dilansir hukumonline.com
Tiga hal tersebut adalah instrumen hukum, aparat penegak hukum, dan budaya hukum. Menurutnya, komitmen pembenahan hukum di Indonesia bakal nyata ketika sistem peradilan di Indonesia terkait dengan hukuman mati. Hukuman mati menjadi ancaman tertinggi dalam hukum positif. Oleh sebab itu, penegakan hukum dalam kasus hukuman mati mesti memiliki standar berbeda di banding kasus lain pada umumnya.
“Jaminan atas pendampingan hukum yang efektif, tidak ada penyiksaan, standar pembuktian yang kuat sampai dengan kepastian hukum dalam konteks undang-undang harus dijamin,” ujarnya.
Indonesia seringkali menjadi sorotan kebanyakan negara di dunia. Khususnya terkait dengan penerapan hukuman mati di era pemerintahan Joko Widodo. Pemerintahan Jokowi, memang terbilang paling banyak dalam melakukan eksekusi hukuman mati terhadap terpidana mati. Setidaknya, dalam kurun waktu 2 tahun pemerintahan Jokowi, sudah terdapat 18 orang dieksekusi mati dalam tiga gelombang.
Akibatnya, Indonesia di pemerintahan Jokowi mendapat cibiran dan kecaman dari negara lain. Padahal melaksanakan eksekusi hukuman mati di bawah bayang peradilan sesat, serta peraturan perundangan yang masih tidak adil. “Hal ini tentu saja dapat mengganggu kredibilitas Indonesia di mata Internasional yang dapat berujung pada stabilitas nasional,” katanya.
Sejumlah kasus terpidana mati yang sudah maupun yang belum dieksekusi masih terdapat unsur peradilan sesat. Bahkan diperlakukan tidak adil. Misalnya, Mahkamah Agung yang menentang putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatasan PK, sebagai upaya mempermudah melakukan eksekusi mati.
Berdasarkan catatan ICJR, setidaknya MA hingga 2016 menerima beberapa permohonan pengujian pembatasan PK. Sebagaimana diketauhi terdapat dua putusan MK No. 66/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 45/PUU-XIII/2015. Menurutnya kedua putusan MK tersebut mengukuhkan kembali putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014 dan menggugurkan dasar hukum Pembatasan SEMA No 7 Tahun 2014. “Yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali,” ujarnya
Sedang dalam kebijakan pemberian Grasi, ICJR pun menilai masih terjadi sengkarut prosedur pembatasan akses dokumen grasi. Keputusan Presiden terkait penerimaan/penolakan Grasi justru di anggap sebagai dokumen rahasia. Ironisnya, hingga kini masih terbilang sulit mengakses Keputusan Presiden (Keppres) Grasi yang seharusnya sebagai dokumen publik
Lebih lanjut Supri mengtakan masih terdapat banyak pelanggaran fair trial yang terjadi dalam kasus hukuman mati, penyiksaan, kesalahan prosedur, pidana korban trafficking sampai dengan kejanggalan aturan. Namun berdasarkan catatan ICJR, kata Supri, DPR tak pernah menanyakaan seluruh kejanggalan tersebut ke Mahkamah Agung, Jaksa Agung, bahkan Presiden
Menurutnya reformasi hukum dapat dimulai dengan melakukan moratorium eksekusi hukuman mati. Langkah awalnya, supaya kejaksaan tidak melakukan penuntutan pidana mati hingga adanya pembenahan pada sektor peradilan pidana. Kemudian, presiden Jokowi melakukan inventarisasi seluruh peraturan dan perundangan serta aturan institusi lembaga negara yang tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan
“Presiden Jokowi juga harus mengevaluasi seluruh jajaran aparat penegak hukum, khususnya terkait keadaan unfair trial yang marak terjadi dalam kasus-kasus pidana mati,” tandasnya.