Dalam rangka mendukung program strategis pembangunan infrastruktur, pembebasan lahan menjadi pekerjaan besar yang mesti diselesaikan pemerintah terlebih dahulu. Ganti rugi terhadap pembebasan lahan seringkali menjadi polemik yang berujung pada konflik.
Secara hukum terdapat peraturan yang mengatur secara khusus yakni UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum serta Perpres No.71 Tahun 2012tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pasal 7 ayat (1) UU No.2 Tahun 2012 dikatakan, “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan sesuai dengan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah; b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah; c. Rencana Strategis; dan d. Rencana Kerja setiap instansi yang memerlukan tanah”. Kemudian,Pasal 7 ayat (3)menyatakan, “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan” sebagaimana dilansir hukumonline.com
Dari ketentuan pasal ini dapat dilihat, “kepentingan umum” adalah tafsir dari instansi pemerintah. Walaupun dalam pengaturannya, proses pembahasan perencanaan tata ruang wilayah harus melibatkan masyarakat
Kepentingan umum yang tunduk pada relasi kuasa kemudian dibatasi dalam Pasal 9 UU No.2/2012 yang menyatakan, “(1) Penyelengara Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. (2) Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.”
Ganti kerugian terhadap pembebasan lahan yang layak dan adil menjadi sangat penting dalam realisasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena dijelaskan dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 UU No.2/2012 bahwa dalam melakukan perencanaan pengadaan tanah untuk pembangunan, instansi pemerintah yang memerlukan tanah hanya perlu memberitahukan rencana pembangunan tersebut kepada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk selanjutnya,dilakukan konsultasi publik dengan masyarakat sebagai pihak yang berhak karena terkena dampak dari pelaksanaan rencana pembangunan, dan dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa.Artinya, jika langsung masuk ke tataran pemberitahuan, masyarakat tidak diberi ruang untuk melakukan dialog sebelumnya, tidak ditanyakan kesediaannya terlebih dahulu untuk melepaskan tanahnya.
Walaupun dalam konsultasi publik tersebut terdapat mekanisme untuk mengajukan keberatan kepada Gubernur yang akan membentuk tim untuk menginventarisasi masalah, melakukan pertemuan dengan pihak yang keberatan, dan membuat surat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan. Jika keberatan diterima, Gubernur dapat menginstruksikan kepada instansi yang bersangkutan untuk mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain.
Selain mekanisme keberatan, masyarakat sebagai pihak terdampak juga bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi. Walaupun dalam banyak kasus, instansi pemerintah yang tidak menghormati proses hukum yang tengah berlangsung di Pengadilan dengan bersikukuh melakukan pembebasan lahan. Jika sampai terjadi hal demikian, maka satu-satunya pilihan bagi masyarakat sebagai pihak yang terdampak hanyalah mekanisme ganti kerugian yang layak dan berkeadilan.
Terkait dengan ganti rugi, dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 34 UU No.2/2012, dijelaskan cara menetapkan besaran nilai ganti kerugian atas tanah untuk kepentingan umum, yakni dilakukan Penilai yang ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan. Nilai ganti kerugian yang ditetapkan oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.
Dalam Pasal Perpres No. 71/2012 dikatakan bahwa penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah yang didasarkan pada hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik. Nilai ganti kerugian yang didasarkan pada hasil penilai publik tersebut kemudian dijadikan dasar untuk melakukan musyawarah penetapan ganti kerugian dengan masyarakat sebagai pihak yang terdampak. (Baca Juga: Risiko Hukum Mengendarai Motor di Trotoar, Ingatkah Anda?)
Musyawarah untuk menentukan besaran nilai ganti kerugian dilakukan antara Lembaga Pertanahan dengan pihak terdampak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah, dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari. Hasil kesepakatan dalam musyawarah ini kemudian akan dijadikan sebagai dasar pemberian ganti kerugian yang akan dimuat dalam berita acara kesepakatan (Pasal 37 UU No. 2/2012).
Jika dalam musyawarah tersebut tidak terjadi kesepakatan mengenai besaran nilai ganti kerugian, masyarakat yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari setelah selesainya musyawarah penetapan ganti kerugian. Pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan, akan memutus bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Jika masyarakat yang menguasai objek pengadaan tanah tersebut masih keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja setelah putusan pengadilan negeri ditetapkan. Mahkamah Agung kemudian yang akan memproses keberatan besaran nilai ganti kerugian tersebut selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diajukan.
Dasar pembayaran ganti kerugian kepada masyarakat yang mengajukan keberatan besaran nilai ganti kerugian pada akhirnya akan bermuara pada Putusan Mahkamah Agung, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 38 UU. No.2/2012.
Mekanisme pengajuan keberatan kepada Gubernur dan gugatan ke pengadilan merupakan saluran hukum yang disediakan bagi masyarakat sebagai pihak yang terdampak dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Penting bagi masyarakat untuk mengetahui saluran hukum tersebut guna membela hak-haknya agar tidak tercederai oleh narasi “kepentingan umum” dalam relasi kuasa yang dominan. Karena menurut ketentuan Pasal 39 UU No. 2/2102, apabila masyarakat yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah tersebut tidak mengajukan keberatan atau menempuh jalur hukum, maka dianggap menerima bentuk dan besaran nilai ganti kerugian dari hasil musyawarah.
Namun ditegaskan dalam Pasal 5 UU No.2/2012, bahwa kewajiban bagi pemilik tanah untuk melepaskan tanahnya demi pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, hanya boleh dilakukan setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Artinya, instansi pemerintah yang melaksanakan proyek pengadaan tanah atau pembebasan lahan bagi kepentingan umum, harus terlebih dahulu memenuhi segala kewajibannya dan menghormati proses hukum yang masih berjalan. Ganti kerugian yang layak dan berkeadilan adalah satu-satunya pilihan bagi masyarakat sebagai pihak yang terdampak, maka hak-hak masyarakat tidak boleh dicederai oleh narasi kuasa yang dominan.