Kebijakan pemerintah pusat yang menghapus ribuan Peraturan Daerah (Perda) bermasalah terus disosialisasikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Meski begitu kebijakan tersebut menimbulkan kebingungan dari sejumlah daerah. Khususnya terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam hal pungutan baik dalam bentuk pajak maupun retribusi.
“Perda yang dibatalkan sebagian mengatur tentang pungutan, baik pajak daerah maupun retribusi daerah, sehingga menimbulkan kekhawatiran apakah pemda masih mempunyai kewenangan melakukan pungutan, serta berkurangnya potensi pendapatan daerah,” kata Wakil Bupati Tulungagung,Maryoto Birowoseperti dilansir dari laman resmi setkab.go.id.
Setelah dilakukan koordinasi dan konsultasi ke Biro Hukum Provinsi dan Kemendagri, menurut Maryoto, diperoleh petunjuk daerah tetap melaksanakan perda-perda tersebut sampai dengan adanya SK pembatalan dari Mendagri. “Penerbitan SK Pembatalan tersebut akan dilaksanakan setelah dilakukan pemilahan perda-perda yang telah dibatalkan oleh Gubernur,” katanya saat menerima kunjungan kerja Komisi II DPR, Kamis (11/8) malam.
Adapun terhadap perda-perda yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun telah dilakukan penyesuaian oleh daerah, menurut Wakil Bupati Tulungagung itu, dapat tetap dilaksanakan.
Selain pencabutan perda bermasalah, pada kesempatan itujuga dibahas masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdapat dalam UU No. 9 Tahun 2015. Mulai dari penyaluran dana desa, tenaga honorer, dan juga tentang pendataan Kartu Penduduk Elektronik (e-KTP).
Wakil Ketua Komisi II DPR Al Muzamil Yusuf menjelaskan, kunjungan kerja tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan masukan terkait tugas-tugas Komisi II DPR. “Kami sudah mengirimkan pertanyaan tertulis, kini kami tinggal mendengar jawabannya, dan mendalaminya,” katanya.
Terhalang UU
Kesulitan serupa juga berpotensi terjadi pada pelaksanaan paket kebijakan ekonomi pemerintah. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan implementasi paket-paket kebijakan ekonomi yang sudah diumumkan pemerintah sulit dilaksanakan karena banyak terhalang oleh undang-undang yang saling bertentangan. Akibatnya, paket kebijakan ekonomi berjalan tersendat.
“Paket ekonomi tidak ada yang jalan karena berbagai UU yang bertentangan satu sama lain dan saling mengunci. Ketika akan dilaksanakan berdasarkan UU Bea Cukai, UU Perindustrian tidak membolehkan. Ketika mengikuti UU Perindustrian, UU Pajak tidak memperbolehkan,” katanya usai menjadi pembicara dalam acara bedah buku di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Mahfud mencontohkan capaian kinerja logistik yang belum optimal yang ditunjukkan dengan belum tercapainya harapan waktu tunggu bongkar muat barang di pelabuhan (dwelling time) yang semakin singkat. Atas berbagai persoalan ini, ia mengaku telah melakukan konsolidasi mengenai urusan teknis hukum bersama pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie untuk kemudian melaporkan hasilnya ke Luhut Pandjaitan, yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan.
Konsolidasi tersebut membicarakan mengenai adanya satu UU yang bisa memperbaiki lebih dari satu UU sekaligus yang bisa dilakukan dengan perppu. Alasannya, jika dibuat UU dengan prosedur biasa akan lama mengingat penerapan 12 paket kebijakan ekonomi sudah semakin mendesak.
“Rencana mau dibuat satu pintu, artinya UU dijadikan satu untuk satu hal. Misalkan masalah perizinan, persyaratan, atau institusi yang menjadi pintu pertama dan terakhir,” kata Mahfud.
Namun, karena terjadi perombakan Kabinet Kerja maka konsolidasi untuk pelaksanaan rencana pembuatan aturan hukum UU yang mendukung implementasi paket kebijakan ekonomi tersebut belum mendapat kepastian lanjutan. “Kalau kami pasif saja karena yang mengambil keputusan pemerintah. Tergantung urusan politiknya, yang meyakinkan partai-partai dan DPR itu urusan pemerintah, tapi urusan teknis hukumnya sudah,” tutupnya.