Kasus pembalakan liar yang semakin meningkat khususnya di hutan konservasi menyebabkan pemeintah mengambil langkah cepat dengan menegaskan pasal 44 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) untuk mencegah atau mengurangi angka kasus pembalakan liar
Apabila pemanfaatan kayu hasil pembalakan liar dibolehkan justru akan membuka modus operandi baru pembalakan liar dari hulu hingga hilir yang dilakukan oknum secara terorganisir.
“Ini bisa berakibat mereka yang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar secara sah dengan dalih kepentingan sosial dan pendidikan akan meningkatkan pembalakan hutan liar dalam hutan konservasi,” ujar Dirjen Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang uji materi UU P3H di Gedung MK, Rabu (12/10).
Pasal 44 ayat (1) UU P3H menyebutkan “Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian.”
Rasio mengakui dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang masih terdapat barang bukti kayu dari hutan konservasi sebesar 1.043 M3 yang tersebar di seluruh Balai Besar Konservasi Sumber Daya dan Taman Nasional di Indonesia. Hingga saat ini keberadaan barang bukti kayu (sitaan illegal) belum dapat dimusnahkan karena terkendala biaya cukup besar. Seperti, biaya identifikasi, pengangkutan, perawatan, pengamanan, dan pemusnahan.
“Tetapi, kondisi ini tidak meniadakan berlakunya Pasal 44 ayat (1) UU P3H,” kata Rasio di hadapan Majelis Mahkamah yang diketuai Arief Hidayat seperti yang dilansir hukumonline.com
Apabila ketentuan tersebut dikabulkan dengan memperluas cakupan justru berdampak terputusnya mata rantai dan terganggunya ekosistem hutan konservasi. Selain itu, semakin maraknya pembalakan liar dalam hutan konservasi dengan modus untuk kepentingan sosial dan pendidikan. “Karena itu, kami tetap berkesimpulan Pasal 44 ayat (1) UU P3H tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan ini seharusnya ditolak,” harapnya.
Salah satu Pemohon, Imam B Prasodjo mengatakan selama ini barang bukti kayu pembalakan liar setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap hanya bisa digunakan sebagai barang bukti dan penelitian. Setelah itu, sesuai Pasal 45 ayat (4) KUHAP setiap barang sitaan terlarang untuk diedarkan harus dimusnahkan. Padahal, kayu yang jumlahnya ribuan meter kubik tidak terpakai yang sebaiknya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan.
“Ribuan kayu ini mangkrak mau dimusnahkan belum ada dananya, daripada busuk? Sebagai orang yang aktif kegiatan sosial dan pendidikan, kenapa kayu-kayu yang mangkrak itu tidak dimanfaatkan untuk membuat perpustakaan atau rumah untuk korban bencana. Kami minta tolong dong kayu itu jangan dimusnahkan karena masih begitu banyak orang membutuhkan,” kata Imam.
Dalam persidangan Pemohon dan Pemerintah menyatakan tidak mengajukan ahli dalam persidangan berikutnya. Keduanya menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis MK untuk memutuskan. “Kalau begitu, Para Pemohon dan Pemerintah menyerahkan kesimpulan pada Jum’at 21 Oktober di Kepaniteraan,” kata Arief sebelum menutup persidangan.
Sebelumnya, akademisi yang juga sosiolog Universitas Indonesia Imam B Prasodjo bersama Andy F. Noya dan Rulany Sigar mempersoalkan Pasal 44 ayat (1) UU P3H terkait pemusnahan barang bukti kayu hasil pembalakan liar atau larangan izin pemanfaatan kayu illegal. Sebab, aturan itu menyebabkan Para Pemohon tidak mendapatkan izin memanfaatkan kayu temuan dan sitaan untuk keperluan pembangunan fasilitas pendidikan. (Baca Juga: Praktisi Hukum Ini Nilai Landasan Konstitusi Pengampunan Pajak Keliru)
Mereka menilai izin pemanfaatan kayu illegal itu hanya terbatas pada kepentingan pembuktian perkara dan penelitian negara. Padahal, faktanya pengelolaan kayu temuan dan sitaan tersebut berupa penyimpanan, pengamanan dan pemusnahan membutuhkan biaya yang cukup besar oleh negara.
Karena itu, seharusnya larangan izin pemanfaatan kayu illegal dihapus agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lebih besar dan mendesak berupa pembangunan fasilitas sosial dan pendidikan. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.
Para Pemohon meminta agar Pasal 44 ayat (1) UU P3H ditafsirkan secara bersyarat yang dimaknai termasuk untuk kepentingan sosial dan pendidikan. Selengkapnya, petitum permohonan berbunyi “Menyatakan Pasal 44 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila tidak dimaknai ‘Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian serta kepentingan sosial dan pendidikan’.”