Saat ini DPR khususnya Komisi III sedang melakukan pembahasan berkaitan dengan Revisi KUHP. LBH Pers, sebagai bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai ada beberapa hal yang perlu dikritisi pada pembahasan tersebut salah satunya berkaitan dengan pasal CoC (Contempt of Court) 328 dan 329 RKUHP Berpotensi Melanggar Kemerdekaan Pers.
Dalam pembahasan RKUHP pada 21 November 2016, Pemerintah dan DPR telah masuk dalam pembahasan BAB VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, atau lazim disebut Contemp of Court
Pasal 328 RKUHP
Pemerintah menyatakan bahwa Pasal 328 diadopsi dari pasal 217 KUHP. Namun, disaat yang sama, Pemerintah justru tidak konsisten karena kemudian menyebutkan bahwa Pasal 328 tidak hanya ditujukan untuk kondisi dalam ruang sidang sebagaimana pengaturan Pasal 217, melainkan juga berlaku dalam seluruh proses peradilan dari penyidikan sampai dengan pengadilan.
Dilain hal Pemerintah dan DPR tidak menyadari atau tidak sama sekali membahas mengenai perbedaan ancaman pidana yang sangat jauh, yaitu tiga minggu dalam Pasal 217 menjadi 5 tahun dalam Pasal 328.
Pasal 329 RKUHP
Dalam Pasal 329 huruf c, diatur mengenai penghinaan terhadap hakim dan integritas hakim. Menurut Pemerintah, pasal ini ditujukan untuk melarang “Scandalaizing the Court” yaitu larangan untuk menyerang sifat tidak memihak atau integritas hakim. Baik DPR dan Pemerintah sepakat perlu adanya penjelasan lebih lanjut dari pasal ini.
Pasal 329 huruf d menimbulkan perdebatan paling alot, lantaran pasal ini sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan Pers. Pemerintah menilai bahwa Pasal ini ditujukan untuk melarang adanya Trial by Press, dimana adanya pemberitaan yang mendahului putusan pengadilan yang dapat mempengaruhi independensi hakim.
LBH Pers dan Aliansi Reformasi KUHP justru melihat bahwa pengaturan secara khusus mengenai contempt of court dalam R KUHP tampaknya tidak diperlukan. Hal ini disebabkan karena sistem peradilan di Indonesia yang menganut sistem non adversarial model tidak memungkinkan untuk adanya pranata contempt of court.
Hal ini disebabkan karena dalam sistem peradilan yang dianut di Indonesia, hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sehingga apabila terdapat ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) dalam R KUHP, dikhawatirkan akan semakin memperkuat kedudukan hakim dalam proses peradilan.
Akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya. Dan kami menilai bahwa kondisi ini bisa sangat berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam CoC sangat sangat berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan hak asasi manusia.
Misalnya saja larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud, pun begitu sesungguhnya sudah ada pranata dewan pers yang bisa mengadili masalah pers sehingga tidak perlu ada hukum pidana.
Selain dua pasal yang sedang dibahas di DPR, masih banyak pasal-pasal di dalam RKUHP yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, seperti pasal 284 tentang penghinaan terhadap pemeritahan, 290 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum, Pasal 302 tentang penyadapan, Pasal 309 tentang penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti dan beberapa pasal lainya seperti penghinaan dan pencemaran nama baik yang terdapat dalam Buku II RKUHP serta dimasukannya kembali pasal haatzai artikelen yang sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.
LBH Pers dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta agar DPR serta Pemerintah tidak hanya memandang isu unsur yang tidak jelas dalam rumusan pasal semata soal penjelasan, melainkan harus memastikan rumusan yang berkepastian hukum. Lebih dari itu, kami meminta agar Pemerintah, khususnya DPR mempertimbangkan ulang ketentuan-ketantuan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia khususnya hak berekspresi dan kemerdekaan pers.