Secara terpisah, penuntut umum KPK menuntut Marudut Pakpahan dan dua petinggi PT Brantas Abipraya, Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno dengan pasal percobaan suap. Ketiganya dianggap terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena terbukti melakukan percobaan suap kepada Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu.
Untuk Marudut, KPK menuntut dipidana penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta subsider enam bulang kurungan. Tuntutan serupa juga dilayangkan kepada Sudi yang menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya. Sedangkan Dandung yang menjabat sebagai senior manager PT Brantas Abipraya dituntut tiga tahun enam bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor mengatur mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Sedangkan Pasal 53 ayat (1) KUHP mengatur bahwa perbuatan pidana pokok dalam pasal 5 tersebut belum selesai karena berisi mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (Baca Juga: Trio Terdakwa Pemberi Suap Kajati DKI Didakwa Tanpa Penerima Suap)
“Perbedaan pasal terletak pada aspek telah selesainya delik. Dalam dakwaan pertama, delik dianggap selesai bila ada persamaan kehendak atau meeting of mind mengenai memberikan sesuatu dengan telah terjadi kesepakatan dan bila barang sudah selesai diterima. Dalam perbuatan para terdakwa tidak terdapat meeting of mind baik pemberian janji atau pun pemberian sesuatu kepada Tomo Sitepu maupun Sudung Situmorang sehingga dakwaan yang terbukti adalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a jo Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ungkap jaksa KPK Irene Putri di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/8).
Perkara tersebut bermula dari Kejati yang tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan keuangan PT Brantas Abipraya yang merugikan keuangan negara Rp7,028 miliar. Marudut yang dikenal dekat dengan Kajati DKI Jakarta diminta Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko untuk menghentikan penyelidikan kasus tersebut.
Dalam pertemuan antara Marudut, Tomo dan Sudung pada 23 Maret 2016 di kantor Kajati DKI Jakarta Marudut bertanya “Pak masalah kasus yang tadi kira-kira bagaimana ya Pak? Dan dijawab Tomo, ini sudah penyidikan dananya sudah dipakai mereka tidak bener itu”. Namun Marudut masih bertanya “Tapi ini teman-teman saya bang, apa masih bisa dibantu?”
Selanjutnya Tomo mengatakan “Ya sudah begini kita dalami dulu nanti kita lihat makanya, suruh datang mereka nanti kalau bisa kita bantu ya kita bantu. Melalui pernyataan itu, Marudut menangkap bahwa Tomo Sitepu meminta uang operasional untuk menghentikan penyidikan sebagaimana yang diminta Sudi kemudian Marudut menemui Dandung di Hotel Le Meredien untuk menyatakan Tomo meminta sejumlah uang operasional sebesar antara Rp2,5 miliar sampai Rp3 miliar.
Dandung kemudian melaporkan kepada Sudi. Atas laporan itu,Sudi pun memberikan persetujuan untuk memberikan uang Rp2,5 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Hal itu selanjutnya disampaikan Dandung ke Marudut. “Maksud Sudi dan Dandung bersama dengan terdakwa Marudut memberikan uang sejumlah AS$148.835 kepada Tomo Sitepu dan Sudung Situmorang agar Tomo Sitepu dan Sudung Situmorang untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi PT Brantas Abipraya yang dalam pemahaman Sudi dan Dandung sudah sampai pada penyidikan,” kata jaksa Wiraksajaya.
Namun jaksa menilai bahwa Sudi, Dandung dan Marudut sudah punya niat untuk memberikan uang kepada Tomo dan Sudung untuk menghentikan penyidikan perkara korupsi PT Brantas di Kejati DKI Jakarta yang menurut Sudi dan Dandung sudah di penyidikan atau sudah ada permulaan pelaksanaan perbuatan pidana. (Baca Juga: Kasus PT Brantas Mau “Dibantu” Lewat Kejati, Kejagung dan Hakim)
“Pada 21 Maret Sudi, Dandung dan Marudut sepakat untuk menghentikan penyidikan dengan meminta bantuan Marudut. Tindak lanjutnya terdakwa Marudut menemui Tomo dan Sudung pada tanggal 23 Maret dan meminta untuk menghentikan penyidikan. Setelah pertemuan itu terdakwa sepakat memberikan Rp2,5 miliar dalam satuan dolar AS kepada Sudung dan Tomo yang diberikan pada 31 Maret,” katanya.
Setelah menerima uang, Marudut menghubungi Tomo dan Sudung untuk memastikan Tomo dan Sudung di kantor karena akan menyerahkan uang tersebut. Namun,setelah Tomo dan Sudung mempersilakan ke kantor, tapi dalam perjalanannya Marudut, Sudi dan Dandung ditangkap KPK.
Namun diketahui juga setelah Marudut tertangkap, ia dihubungi Tomo Sitepu dan menanyakan kapan Marudut akan ke kantor karena Tomo masih di luar kantor dan dijawab “biar ajalah kalau abang sudah di kantor telepon saya saja”.
“Selanjutnya pada sekitar pukul 13.00 WIB Marudut mendapat pesan BBM dari Sudung Situmorang yang berbunyi ‘Unang ro saonari mumdur adong info naso denggan hati-hati’ yang artinya jangan datang sekarang ada info yang kurang baik hati-hati. Berdasarkan fakta hukum tersebut niat para terdakwa dan marudut untuk mewujudkan pemberian uang kepada Sudung dan Tomo untuk menghentikan penyidikan sebagai permulaan perbuatan sebagai terwujudnya niat terpenuhi,” kata jaksa Abdul Basir.
Atas tuntutan ini, Marudut, Sudi dan Dandungakan menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada 26 Agustus 2016.